3. Perkawinan Eksogami
Menurut ajaran Islam sebagai agama satu-satunya yang dianut orang Minang dikatakan bahwa ada 3 hal yang mutlak hanya diketahui dan ditentukan Tuhan untuk masing-masing kita. Pertama adalah umur kita sebagai manusia. Tidak seorangpun tahu kapan dia akan mati. Kedua adalah rezeki. Sebagai manusia kita hanya dituntut berikhtiar dan berusaha namun berapa rezeki yang akan diberikan kepada kita secara mutlak ditentukan oleh Tuhan. Ketiga adalah jodoh. Apapun upaya yang dilakukan oleh anak manusia, bagaimanapun cintanya dia kepada seseorang, kalau Tuhan tidak mengizinkan, perkawinan tidak akan terlaksana.
Sebaliknya kalau memang jodohnya, kenal dua minggupun, perkawinan dapat terjadi. Karena itu sebagai orang Islam kita hanya senantiasa berdoa semoga dipanjangkan umurnya, diberi rezeki yang banyak dan dientengkan jodohnya, disamping tetap berusaha mencari pasangan hidupnya.
Sekalipun demikian masyarakatpun mempunyai peranan yang besar dalam penetapan jodoh. Dalam masyarakat Jawa misalnya, pemilihan jodoh hampir tidak ada pembatasan. Namun perkawinan antara saudara sekandung tetap tidak diperbolehkan.
Pada tiap masyarakat, orang memang harus kawin diluar batas suatu lingkungan tertentu. Perkawinan diluar batas tertentu ini disebut dengan istilah "eksogami".
Istilah eksogami ini mempunyai pengertian yang sangat nisbi (relatif). Pengertian diluar batas lingkungan bisa diartikan luas namun bisa pula sangat sempit.
Menurut Prof. Dr. Koentjaraningrat kalau orang dilarang kawin dengan saudara-saudara kandungnya, maka kita sebut "eksogami keluarga batih". Kalau orang dilarang kawin dengan semua orang yang mempunyai marga "marga" yang sama, disebut "eksogami marga". Kalau orang dilarang kawin dengan orang yang berasal dari "nagari" yang sama, kita sebut dengan "eksogami nagari".
Adat Minang menentukan bahwa orang Minang dilarang kawin dengan orang dari suku yang serumpun. Oleh karena garis keturunan di Minangkabau ditentukan menurut garis ibu, maka suku serumpun disini dimaksudkan "serumpun menurut garis ibu", maka disebut "eksogami matrilokal atau eksogami matrilinial".
Dalam hal ini para ninik-mamak, alim ulama, cendekiawan, para pakar adat dan pecinta adat Minang dituntut untuk memberikan kata sepakat mengenai rumusan (definisi) pengertian kata serumpun ini yang akan diperlakukan dalam perkawinan di Minang kabau. Apakah "serumpun" itu sama dengan "samande", "saparuik", "sajurai", "sasuku", ataukah "sasuduik".
Pengamatan kami membuktikan bahwa pengertian "serumpun" ini tidak sama di Minangkabau. Bahkan dalam satu nagari saja, pengertian ini tidak sama, sehingga sangat membingungkan masyarakat awam, apalagi generasi muda Minangkabau.
Di nagari kubang di Luhak 50-Kota misalnya, pengetian serumpun disamakan dengan "sasuduik". Yang dimaksudkan dengan "sasuduik" adalah satu kelompok dari beberapa "suku". Misalnya "Suduik nan 5", terdiri dari 5 (lima) buah suku yaitu suku Jambak, suku Pitopang, suku Kutianyir, suku Salo dan suku Banuhampu.
Kelima buah suku ini dianggap serumpun, sehingga antara kelima buah suku itu tidak boleh dilakukan perkawinan. Kalau sampai terjadi bisa "dibuang sepanjang adat" karena dianggap perkawinan "endogami" atau perkawinan didalam rumpun sendiri, yang berlawanan dengan prinsip "eksogami" yang dianut di Minangkabau.
Tapi pengertian "sarumpun" sama dengan "sasuduik" ini tidak konsisten pula, sebab ternyata perkawinan sesama anggota dari "suduik nan 6" dan sama-sama berasal dari suku "Caniago" dan dalam nagari yang sama, malah diperbolehkan. Pengertian "serumpun" yang tidak konsisten semacam ini, jelas akan sangat membingungkan anak kemenakan di Minangkabau dalam memahami adat perkawinan di Minangkabau.
Pengertian serumpun yang tidak sama ini juga merupakan penghalang dalam mencari jodoh. Semakin luas atau semakin banyak suku yang terhimpun dalam "serumpun" semakin "sempit" arena perburuan mencari jodoh. Hal ini berakibat makin lama, makin sulit bagi muda-mudi mencari pasangan dalam lingkungan masyarakatnya sendiri. Misalnya bagi muda-mudi dari sudut nan 5 diatas, sangat musykil mencari jodoh di nagari Kubang itu. Ini adalah suatu realita yang dapat dibuktikan. Akibatnya banyak yang kawin ke luar "nagari", bahkan sudah ada yang sampai ke luar negeri.
Kami tidak mengatakan bahwa hal ini menunjukkan gejala yang baik, atau tidak baik, tetapi sekedar menunjukkan bahwa prinsip "eksogami matrilinial" akan mandek sendiri, bila pengertian serumpun tidak segera direvisi dan diperkecil dari pengertian umum yang ada sekarang. Hal ini perlu segera dilakukan bila kita ingin melestarikan prinsip-prinsip pokok adat perkawinan Minangkabau khususnya.
(Sumber : Adat Minangkabau, Pola & Tujuan Hidup Orang Minang)
Langganan:
Posting Komentar (Atom)
Tidak ada komentar:
Posting Komentar