7. Minta Izin / Mahanta Siriah
Bila seseorang pemuda telah ditentukan jodoh dan hari perkawinannya, maka kewajiban yang pertama menurut adat yang terpikul langsung ke diri orang yang bersangkutan, ialah memberi tahu dan mohon doa restu kepada mamak-mamaknya, kepada saudara-saudara ayahnya; kepada kakak-kakaknya yang telah berkeluarga dan kepada orang-orang tua lainnya yang dihormati dalam keluarganya. Acara ini pada beberapa daerah di Sumatera Barat disebut minta izin.
Bagi pihak calon pengantin wanita, kewajiban ini tidaklah terpikul langsung kepada calon anak daro, tetapi dilaksanakan oleh kaum keluarganya yang wanita yang telah berkeluarga. Acaranya bukan disebut minta izin tapi mahanta siriah atau menghantar sirih. Namun maksud dan tujuannya sama. Tugas ini dilaksanakan beberapa hari atau paling lambat dua hari sebelum akad nikah dilangsungkan.
Tata Cara
Pada hari yang telah ditentukan calon mempelai pria dengan membawa seorang kawan (biasanya teman dekatnya yang telah atau baru berkeluarga) pergi mendatangi langsung rumah isteri dari keluarga-keluarga yang patutu dihormati seperti disebutkan diatas.
Setelah menyuguhkan rokok (menurut cara lama menyuguhkan salapah yang berisi daun nipah dan tembakau) sebagai pembuka kata, kemudian secara langsung pula memberitahu kepada keluarga yang didatangi itu bahwa ia kalau diizinkan Allah, akan melaksanakan akad nikah. Kemudian menjelaskan segala rencana perhelatan yang akan diadakan oleh orang tuanya. Lalu minta izin (mohon doa) restu dan kalau perlu minta sifat dan petunjuk yang diperlukan dalam rencana perkawinan itu. Terakhir tentu memohon kehadiran orang bersangkutan serta seluruh keluarganya pada hari-hari perhelatan tersebut.
Biasanya keluarga-keluarga yang didatangi tidaklah melepas pulang begitu saja keluarganya yang datang minta izin secara akrab seperti itu. Dengan dihormati begitu oleh anak kemenakannya, mereka juga merasa terpanggil untuk ikut memikul beban (ringan sama dijinjing, berat sama dipikul) dengan memberikan bingkisan-bingkisan yang berguna bagi orang yang akan pesta. Walaupun misalnya hanya satu kilogram gula pasir saja, sesuai dengan kemampuannya.
Tata Busananya
Untuk melaksanakan acara ini calon pengantin pria diharuskan untuk mengenakan busana khusus. Ada dua pilihan untuk itu yang lazim berlaku sampai sekarang dibeberapa daerah di Sumatera Barat :
Mengenakan celana batik dengan baju gunting cina berkopiah hitam dan menyandang kain sarung palekat (atau sarung Bugis)
Mengenakan celana batik dengan kemeja putih yang diluarnya dilapisi dengan jas, kerah kemeja keluar menjepit leher jas. Tetap memakai kopiah dengan kain sarung pelekat yang disandang di bahu atau dilingkarkan di leher.
Dahulu si calon mempelai juga diharuskan untuk membawa salapah (semacam tempat untuk rokok daun nipah dengan tembakaunya). Tapi sekarang anak-anak muda telah menukarnya dengan rokok biasa. Sebab tujuan membawa barang tersebut hanyalah sebagai suguhan pertama sebelum membuka kata.
Bagi keluarga calon pengantin wanita yang bertugas melaksanakan acara ini yang disebut mahanta siriah, peralatan yang dibawa sesuai dengan namanya yaitu seperangkat daun sirih lengkap bersadah pindang yang telah tersusun rapi baik diletakkan diatas carano maupun didalam kampia (tas yang terbuat dari daun pandan). Sebelum maksud kedatangan disampaikan maka sirih ini terlebih dahulu yang disuguhkan kepada orang yang didatangi.
(Sumber : Tata Cara Perkawinan Adat Istiadat Minangkabau)
Rabu, 16 Januari 2008
6. Maminang
6. Maminang
Pada hari yang telah ditentukan, pihak keluarga anak gadis yang akan dijodohkan itu dengan dipimpin oleh mamak mamaknya datang bersama-sama kerumah keluarga calon pemuda yang dituju. Lazimnya untukacara pertemuan resmi pertama ini diikuti oleh ibu dan ayah si gadis dan diiringkan oleh beberapa orang wanita yang patut-patut dari keluarganya. Dan biasanya rombongan yang datang juga telah membawa seorang juru bicara yang mahir berbasa-basi dan fasih berkata-kata, jika sekiranya si mamak sendiri bukan orang ahli untuk itu.
Untuk menghindarkan hal-hal yang dapat menjadi penghalang bagi kelancaran pertemuan kedua keluarga untuk pertama kali ini, lazimnya si telangkai yang telah marisiak, sebelumnya telah membicarakan dan mencari kesepakatan dengan keluarga pihak pria mengenai materi apa saja yang akan dibicarakan pada acara maminang itu. Apakah setelah meminang dan pinangan diterima lalu langsung dilakukan acara batuka tando atau batimbang tando ?
Batuka tando secara harfiah artinya adalah bertukar tanda. Kedua belah pihak keluarga yang telah bersepakat untuk saling menjodohkan anak kemenakannya itu, saling memberikan benda sebagai tanda ikatan sesuai dengan hukum perjanjian pertunangan menurut adat Minangkabau yang berbunyi :
Batampuak lah buliah dijinjiang,Batali lah buliah diirik
Artinya kalau tanda telah dipertukarkan dalam satu acara resmi oleh keluarga kedua belah pihak, maka bukan saja antar kedua anak muda tersebut telah ada keterikatan dan pengesahan masyarakat sebagai dua orang yang telah bertunangan, tetapi juga antar kedua belah keluarga pun telah terikat untuk saling mengisi adat dan terikat untuk tidak dapat memutuskan secara sepihak perjanjian yang telah disepakati itu.
Barang-barang yang Dibawa
Barang-barang yang dibawa waktu maminang, yang utama adalah sirih pinang lengkap. Apakah disusun dalam carano atau dibawa dengan kampia, tidak menjadi soal. Yang penting sirih lengkap harus ada. Tidaklah disebut beradat sebuah acara, kalau tidak ada sirih diketengahkan.
Pada daun sirih yang akan dikunyah menimbulkan dua rasa dilidah, yaitu pahit dan manis, terkandung simbol-simbol tentang harapan dan kearifan manusia akan kekurangan-kekurangan mereka. Lazim saja selama pertemuan itu terjadi kekhilafan-kekhilafan baik dalam tindak-tanduk maupun dalam perkataan, maka dengan menyuguhkan sirih di awal pertemuan, maka segala yang janggal itu tidak akan jadi gunjingan. Sebagaimana dalam pasambahan siriah disebutkan :
Kok Siriah lah kami makanManih lah lakek diujuang lidahPahik lah luluih karakuanganJika sirih sudah kami makanYang manis lekat di ujung lidahYang pahit lolos ke kerongkongan
Artinya orang tidak lagi mengingat-ingat segala yang jelek, hanya yang manis saja pada pertemuan itu yang akan melekat dalam kenangannya.
Kalau disepakati sebelumnya bahwa pada acara maminang tersebut sekaligus juga akan dilangsungkan acara batuka tando atau batimbang tando maka benda yang akan dipertukarkan sebagai tanda itu juga dibawa; yang tentu saja diletakkan pada satu wadah yang sudah dihiasi dengan bagus (dulung atau nampan). Yang dijadikan sebagai tanda untuk dipertukarkan lazimnya adalah benda-benda pusaka, seperti keris, atau kain adat yang mengandung nilai sejarah bagi keluarga. Jadi bukan dinilai dari kebaruan dan kemahalan harganya, tetapi justru karena sejarahnya itu yang sangat berarti dan tidak dapat dinilai dengan uang. Umpamanya sebuah kain balapak yang telah berumur puluhan tahun yang pernah diwariskan oleh nenek si gadis sebelum meninggal, atau kain adat yang pernah dipakai oleh ibu si gadis pada perkawinannya puluhan tahun yang lalu.
Karena nilai-nilai sejarahnya inilah maka barang-barang yang dijadikan tanda itu menjadi sangat berharga bagi keluarga yang bersangkutan dan karena itu pula maka setelah nanti akad nikah dilangsungkan, masing-masing tanda ini harus dikembalikan lagi dalam suatu acara resmi oleh kedua belah pihak.
Sesuai dengan etika pergaulan, bertandang biasapun kerumah orang, lazim kita membawa buah tangan, maka dalam acara resmi beradat, seyogyanya pihak rombongan yang datang juga membawa kue-kue atau buah-buahan sebagai oleh-oleh.
Urutan Acara
Pembicaraan dalam acara maminang dan batuka tando ini berlangsung antara mamak atau wakil dari pihak keluarga si gadis dengan mamak atau wakil dari pihak keluarga pemuda. Bertolak dari penjajakan-penjajakan yang telah dilakukan sebelumnya ada empat hal secara simultan yang dapat dibicarakan, dimufakati dan diputuskan oleh kedua belah pihak saat ini.
Melamar => menyampaikan secara resmi lamaran dari pihak keluarga si gadis kepada pihak keluarga si pemuda
Batuka tando => Mempertukarkan tanda ikatan masing-masing
Baretong => Memperembukkan tata cara yang akan dilaksanakan nanti dalam penjemputan calon pengantin pria waktu akan dinikahkan
Manakuak hari => Menentukan waktu kapan niat itu akan dilaksanakan
Namun menurut yang lazim dikampung, jika acara maminang itu bukan sesuatu yang sudah direkayasa oleh kedua keluarga sebelumnya, maka acara ini akan berlangsung berkali-kali sebelum urutan ketentuan diatas dapat dilaksanakan. Karena pihak keluarga pemuda pasti tidak dapat memberikan jawaban langsung pada pertemuan pertama itu. Orang tuanya atau ninik mamaknya akan meminta waktu terlebih dahulu untuk memperembukkan lamaran itu dengan keluarga-keluarganya yang patut-patut lainnya. Paling-paling pada pertemuan tersebut, pihak keluarga pemuda menentukan waktu kapan mereka memberikan jawaban atas lamaran itu.
Acara maminang yang berlangsung dikota-kota umumnya sudah dibuat dengan skenario yang praktis berdasarkan persetujuan kedua keluarga, sehingga urutan-urutan seperti yang dicantumkan diatas dapat dilaksanakan secara simultan dan diselesaikan dalam satu kali pertemuan.
(Sumber : Tata Cara Perkawinan Adat Istiadat Minangkabau)
Pada hari yang telah ditentukan, pihak keluarga anak gadis yang akan dijodohkan itu dengan dipimpin oleh mamak mamaknya datang bersama-sama kerumah keluarga calon pemuda yang dituju. Lazimnya untukacara pertemuan resmi pertama ini diikuti oleh ibu dan ayah si gadis dan diiringkan oleh beberapa orang wanita yang patut-patut dari keluarganya. Dan biasanya rombongan yang datang juga telah membawa seorang juru bicara yang mahir berbasa-basi dan fasih berkata-kata, jika sekiranya si mamak sendiri bukan orang ahli untuk itu.
Untuk menghindarkan hal-hal yang dapat menjadi penghalang bagi kelancaran pertemuan kedua keluarga untuk pertama kali ini, lazimnya si telangkai yang telah marisiak, sebelumnya telah membicarakan dan mencari kesepakatan dengan keluarga pihak pria mengenai materi apa saja yang akan dibicarakan pada acara maminang itu. Apakah setelah meminang dan pinangan diterima lalu langsung dilakukan acara batuka tando atau batimbang tando ?
Batuka tando secara harfiah artinya adalah bertukar tanda. Kedua belah pihak keluarga yang telah bersepakat untuk saling menjodohkan anak kemenakannya itu, saling memberikan benda sebagai tanda ikatan sesuai dengan hukum perjanjian pertunangan menurut adat Minangkabau yang berbunyi :
Batampuak lah buliah dijinjiang,Batali lah buliah diirik
Artinya kalau tanda telah dipertukarkan dalam satu acara resmi oleh keluarga kedua belah pihak, maka bukan saja antar kedua anak muda tersebut telah ada keterikatan dan pengesahan masyarakat sebagai dua orang yang telah bertunangan, tetapi juga antar kedua belah keluarga pun telah terikat untuk saling mengisi adat dan terikat untuk tidak dapat memutuskan secara sepihak perjanjian yang telah disepakati itu.
Barang-barang yang Dibawa
Barang-barang yang dibawa waktu maminang, yang utama adalah sirih pinang lengkap. Apakah disusun dalam carano atau dibawa dengan kampia, tidak menjadi soal. Yang penting sirih lengkap harus ada. Tidaklah disebut beradat sebuah acara, kalau tidak ada sirih diketengahkan.
Pada daun sirih yang akan dikunyah menimbulkan dua rasa dilidah, yaitu pahit dan manis, terkandung simbol-simbol tentang harapan dan kearifan manusia akan kekurangan-kekurangan mereka. Lazim saja selama pertemuan itu terjadi kekhilafan-kekhilafan baik dalam tindak-tanduk maupun dalam perkataan, maka dengan menyuguhkan sirih di awal pertemuan, maka segala yang janggal itu tidak akan jadi gunjingan. Sebagaimana dalam pasambahan siriah disebutkan :
Kok Siriah lah kami makanManih lah lakek diujuang lidahPahik lah luluih karakuanganJika sirih sudah kami makanYang manis lekat di ujung lidahYang pahit lolos ke kerongkongan
Artinya orang tidak lagi mengingat-ingat segala yang jelek, hanya yang manis saja pada pertemuan itu yang akan melekat dalam kenangannya.
Kalau disepakati sebelumnya bahwa pada acara maminang tersebut sekaligus juga akan dilangsungkan acara batuka tando atau batimbang tando maka benda yang akan dipertukarkan sebagai tanda itu juga dibawa; yang tentu saja diletakkan pada satu wadah yang sudah dihiasi dengan bagus (dulung atau nampan). Yang dijadikan sebagai tanda untuk dipertukarkan lazimnya adalah benda-benda pusaka, seperti keris, atau kain adat yang mengandung nilai sejarah bagi keluarga. Jadi bukan dinilai dari kebaruan dan kemahalan harganya, tetapi justru karena sejarahnya itu yang sangat berarti dan tidak dapat dinilai dengan uang. Umpamanya sebuah kain balapak yang telah berumur puluhan tahun yang pernah diwariskan oleh nenek si gadis sebelum meninggal, atau kain adat yang pernah dipakai oleh ibu si gadis pada perkawinannya puluhan tahun yang lalu.
Karena nilai-nilai sejarahnya inilah maka barang-barang yang dijadikan tanda itu menjadi sangat berharga bagi keluarga yang bersangkutan dan karena itu pula maka setelah nanti akad nikah dilangsungkan, masing-masing tanda ini harus dikembalikan lagi dalam suatu acara resmi oleh kedua belah pihak.
Sesuai dengan etika pergaulan, bertandang biasapun kerumah orang, lazim kita membawa buah tangan, maka dalam acara resmi beradat, seyogyanya pihak rombongan yang datang juga membawa kue-kue atau buah-buahan sebagai oleh-oleh.
Urutan Acara
Pembicaraan dalam acara maminang dan batuka tando ini berlangsung antara mamak atau wakil dari pihak keluarga si gadis dengan mamak atau wakil dari pihak keluarga pemuda. Bertolak dari penjajakan-penjajakan yang telah dilakukan sebelumnya ada empat hal secara simultan yang dapat dibicarakan, dimufakati dan diputuskan oleh kedua belah pihak saat ini.
Melamar => menyampaikan secara resmi lamaran dari pihak keluarga si gadis kepada pihak keluarga si pemuda
Batuka tando => Mempertukarkan tanda ikatan masing-masing
Baretong => Memperembukkan tata cara yang akan dilaksanakan nanti dalam penjemputan calon pengantin pria waktu akan dinikahkan
Manakuak hari => Menentukan waktu kapan niat itu akan dilaksanakan
Namun menurut yang lazim dikampung, jika acara maminang itu bukan sesuatu yang sudah direkayasa oleh kedua keluarga sebelumnya, maka acara ini akan berlangsung berkali-kali sebelum urutan ketentuan diatas dapat dilaksanakan. Karena pihak keluarga pemuda pasti tidak dapat memberikan jawaban langsung pada pertemuan pertama itu. Orang tuanya atau ninik mamaknya akan meminta waktu terlebih dahulu untuk memperembukkan lamaran itu dengan keluarga-keluarganya yang patut-patut lainnya. Paling-paling pada pertemuan tersebut, pihak keluarga pemuda menentukan waktu kapan mereka memberikan jawaban atas lamaran itu.
Acara maminang yang berlangsung dikota-kota umumnya sudah dibuat dengan skenario yang praktis berdasarkan persetujuan kedua keluarga, sehingga urutan-urutan seperti yang dicantumkan diatas dapat dilaksanakan secara simultan dan diselesaikan dalam satu kali pertemuan.
(Sumber : Tata Cara Perkawinan Adat Istiadat Minangkabau)
5. Maresek
5. Maresek
Awal dari sebuah perkawinan jika menjadi urusan keluarga, bermula dari penjajakan. Di Minangkabau sendiri kegiatan ini disebut dengan berbagai istilah. Ada yang menyebut maresek, ada yang mengatakan marisiak, ada juga yang menyebut marosok sesuai dengan dialek daerah masing-masing. Namun arti dan tujuannya sama, yaitu melakukan penjajakan pertama.
Siapa yang harus melakukan penjajakan ini ? Apakah pihak keluarga yang wanita, atau pihak keluarga yang laki-laki ?. Inipun berbeda-beda pelaksanaannya di Sumatera Barat. Ada nagari-nagari dimana pihak perempuan yang datang lebih dahulu melamar. Tapi ada juga nagari-nagari dimana pihak laki-laki yang melakukan pelamaran. Namun sesuai dengan sistem kekerabatan matrilineal yang berlaku di Minangkabau, maka yang umum melakukan lamaran ini adalah pihak keluarga perempuan.
Sebagaimana telah kita sebutkan diatas sebelum lamaran yang sebenarnya dilakukan, maka yang dilaksanakan terlebih dahulu adalah penjajakan. Untuk ini tidak perlu ayah-ibu atau mamak-mamak langsung dari si anak gadis yang akan dicarikan jodoh itu yang datang. Biasanya perempuan-perempuan yang sudah berpengalaman untuk urusan-urusan semacam itu yang diutus terlebih dahulu. Tujuannya adalah mengajuk-ajuk apa pemuda yang dituju telah niat untuk dikawinkan dan kalau sudah berniat apakah ada kemungkinan kalau dijodohkan dengan anak gadis si Anu yang juga sudah berniat untuk berumah tangga.
Jika mamak atau ayah bundanya nampak memberikan respon yang baik, maka angin baik ini segera disampaikan kembali oleh si telangkai tadi kepada mamak dan ayah bunda pihak si gadis.
Urusan resek maresek ini tidak hanya berlaku dalam tradisi lama, tetapi juga berlaku sampai sekarang baik bagi keluarga yang masih berada di Sumatera Barat, maupun bagi mereka yang sudah bermukim dirantau-rantau. Terutama tentu saja bagi keluarga-keluarga yang keputusan-keputusan penting mengenai hidup dan masa depan anak-anaknya masih tergantung kepada orang-orang tua mereka. Untuk kasus-kasus yang semacam ini, tentang siapa yang harus terlebih dahulu melakukan penjajakan, tidaklah merupakan masalah. Karena disini berlaku hukum sesuai dengan pepatah petitih :
Sia marunduak sia bungkuak
Sia malompek sia patah
Artinya siapa yang lebih berkehendak
Tentulah dia yang harus mengalah
Seringkali resek-maresek ini tidak selesai satu kali, tapi bisa berlanjut dalam beberapa kali perundingan. Dan jika semuanya telah bersepakat untuk saling menjodohkan anak kemenakan masing-masing dan segala persyaratan untuk itupun telah disetujui oleh pihak keluarga laki-laki dengan telangkai yang datang, maka barulah langkah selanjutnya ditentukan untuk mengadakan pertemuan secara lebih resmi oleh keluarga kedua belah pihak. Acara inilah yang disebut acara maminang.
(Sumber : Tata Cara Perkawinan Adat Istiadat Minangkabau)
Awal dari sebuah perkawinan jika menjadi urusan keluarga, bermula dari penjajakan. Di Minangkabau sendiri kegiatan ini disebut dengan berbagai istilah. Ada yang menyebut maresek, ada yang mengatakan marisiak, ada juga yang menyebut marosok sesuai dengan dialek daerah masing-masing. Namun arti dan tujuannya sama, yaitu melakukan penjajakan pertama.
Siapa yang harus melakukan penjajakan ini ? Apakah pihak keluarga yang wanita, atau pihak keluarga yang laki-laki ?. Inipun berbeda-beda pelaksanaannya di Sumatera Barat. Ada nagari-nagari dimana pihak perempuan yang datang lebih dahulu melamar. Tapi ada juga nagari-nagari dimana pihak laki-laki yang melakukan pelamaran. Namun sesuai dengan sistem kekerabatan matrilineal yang berlaku di Minangkabau, maka yang umum melakukan lamaran ini adalah pihak keluarga perempuan.
Sebagaimana telah kita sebutkan diatas sebelum lamaran yang sebenarnya dilakukan, maka yang dilaksanakan terlebih dahulu adalah penjajakan. Untuk ini tidak perlu ayah-ibu atau mamak-mamak langsung dari si anak gadis yang akan dicarikan jodoh itu yang datang. Biasanya perempuan-perempuan yang sudah berpengalaman untuk urusan-urusan semacam itu yang diutus terlebih dahulu. Tujuannya adalah mengajuk-ajuk apa pemuda yang dituju telah niat untuk dikawinkan dan kalau sudah berniat apakah ada kemungkinan kalau dijodohkan dengan anak gadis si Anu yang juga sudah berniat untuk berumah tangga.
Jika mamak atau ayah bundanya nampak memberikan respon yang baik, maka angin baik ini segera disampaikan kembali oleh si telangkai tadi kepada mamak dan ayah bunda pihak si gadis.
Urusan resek maresek ini tidak hanya berlaku dalam tradisi lama, tetapi juga berlaku sampai sekarang baik bagi keluarga yang masih berada di Sumatera Barat, maupun bagi mereka yang sudah bermukim dirantau-rantau. Terutama tentu saja bagi keluarga-keluarga yang keputusan-keputusan penting mengenai hidup dan masa depan anak-anaknya masih tergantung kepada orang-orang tua mereka. Untuk kasus-kasus yang semacam ini, tentang siapa yang harus terlebih dahulu melakukan penjajakan, tidaklah merupakan masalah. Karena disini berlaku hukum sesuai dengan pepatah petitih :
Sia marunduak sia bungkuak
Sia malompek sia patah
Artinya siapa yang lebih berkehendak
Tentulah dia yang harus mengalah
Seringkali resek-maresek ini tidak selesai satu kali, tapi bisa berlanjut dalam beberapa kali perundingan. Dan jika semuanya telah bersepakat untuk saling menjodohkan anak kemenakan masing-masing dan segala persyaratan untuk itupun telah disetujui oleh pihak keluarga laki-laki dengan telangkai yang datang, maka barulah langkah selanjutnya ditentukan untuk mengadakan pertemuan secara lebih resmi oleh keluarga kedua belah pihak. Acara inilah yang disebut acara maminang.
(Sumber : Tata Cara Perkawinan Adat Istiadat Minangkabau)
4. Urang Sumando
4. Urang Sumando
Disamping menganut sistem eksogami dalam perkawinan, adat Minang juga menganut paham yang dalam istilah antropologi disebut dengan sistem "matri-local" atau lazim disebut dengan sistem "uxori-local" yang menetapkan bahwa marapulai atau suami bermukim atau menetap disekitar pusat kediaman kaum kerabat istri, atau didalam lingkungan kekerabatan istri. Namun demikian status pesukuan marapulai atau suami tidak berubah menjadi status pesukuan istrinya. Status suami dalam lingkungan kekerabatan istrinya adalah dianggap sebagai "tamu terhormat", tetap dianggap sebagai pendatang. Sebagai pendatang kedudukannya sering digambarkan secara dramatis bagaikan "abu diatas tunggul", dalam arti kata sangat lemah, sangat mudah disingkirkan. Namun sebaliknya dapat juga diartikan bahwa suami haruslah sangat berhati-hati dalam menempatkan dirinya dilingkungan kerabat istrinya.
Dilain pihak perkawinan bagi seorang perjaka Minang berarti pula, langkah awal bagi dirinya meninggalkan kampung halaman, ibu dan bapak serta seluruh kerabatnya, untuk memulai hidup baru dilingkungan kerabat istrinya. Prosesi turun janjang dari rumah tangga orang tuanya, bagi seorang perjaka Minang adalah suatu peristiwa yang sangat mengharukan. Rasa sedih dan gembira bergalau menjadi satu. Upacara turun janjang ini, dilakukan dalam rangka upacara "japuik menjapuik", yang berlaku dalam perkawinan adat Minang.
Pepatah Minang mengatur upacara ini sebagai berikut;
Sigai mancari anau Anau tatap sigai baranjak Datang dek bajapuikPai jo baantaAyam putieh tabang siangBasuluah matoariBagalanggang mato rang banyak.(Tangga mencari enau)Enau tetap tangga berpindahDatang karena dijemputPergi dengan diantar(Bagaikan) Ayam putih terbang siangBersuluh matahariBergelanggang (disaksikan) mata orang banyak.
Maksud dari pepatah diatas adalah bahwa dalam setiap perkawinan adat Minang "semua laki-laki yang diantar ke rumah istrinya, dengan dijemput oleh keluarga istrinya secara adat dan diantar pula bersama-sama oleh keluarga pihak laki-laki secara adat pula. Mulai sejak itu suami menetap di rumah atau dikampung halaman istrinya."
Bila terjadi perceraian, suamilah yang harus pergi dari rumah istrinya. Sedangkan istri tetap tinggal dirumah kediamannya bersama anak-anaknya sebagaimana telah diatur hukum adat. Bila istrinya meninggal dunia, maka kewajiban keluarga pihak suami untuk segera menjemput suami yang sudah menjadi duda itu, untuk dibawa kembali kedalam lingkungan sukunya atau kembali ke kampung halamannya. Situasi ini sungguh sangat menyedihkan, namun begitulah ketentuan adat Minang.
Secara lahiriyah maupun rohaniah yang memiliki rumah di Minangkabau adalah wanita dan kaum pria hanya menumpang. Tempat berlindung pria Minang adalah surau. Menyedihkan memang. Tapi ini pula yang menjadi sumber dinamika pria Minang, sehingga mereka menjadi perantau atau pengembara yang tangguh.
Kenyataan ini dihayati dan diterima dengan sadar oleh hampir seluruh warga Minang, baik mereka yang menempati Rumah Gadang tradisional, maupun yang menempati rumah gedung modern, baik mereka yang bermukim di kampung halaman, maupun mereka yang sudah merantau ke kota besar.
Berdasarkan pola yang demikian, sudah lazim penghuni Rumah Gadang di Minangkabau adalah kaum wanita dengan suami dan anak-anak mereka terutama anak-anak wanita. Anak-anak laki-laki mulai usia sekolah, dulu sudah harus mengaji di surau-surau, belajar silat, bergaul dengan pria dalam segala tingkat usia, sehingga mereka terbiasa hidup secara spartan (secara keras dan jantan).
Dalam struktur adat Minang, kedudukan suami sebagai orang datang (Urang Sumando) sangat lemah. Sedangkan kedudukan anak-lelaki, secara fisik tidak punya tempat di rumah ibunya. Bila terjadi sesuatu di rumah tangganya sendiri, maka ia tidak lagi memiliki tempat tinggal.
Situasi macam ini secara logis mendorong pria Minang untuk berusaha menjadi orang baik agar disengani oleh dunsanaknya sendiri, maupun oleh keluarga pihak istrinya.
Pada dasarnya di Minangkabau anak laki-laki sejak kecil sudah dipaksa hidup berpisah dengan orang tua dan saudara-saudara wanitanya. Mereka dipaksa hidup berkelompok di surau-surau dan tidak lagi hidup di rumah Gadang dengan ibunya.
Sekalipun di rumah gedung modern sudah ada pencampuran hidup bersama antara anak lelaki dan anak wanita Minang, namun prinsip pergaulan terpisah ini tetap dijalankan. Antara mereka anak lelaki dan anak wanita tetap mempunyai jarak dalam pergaulan sehari-hari. Hal ini merupakan salah satu dasar dari ajaran moralita menurut adat Minang. Adat Minang tidak mengenal ajaran pergaulan bebas, walau antara saudara kandung sendiri.
Kehidupan keluarga yang seperti ini, diperkirakan telah melahirkan watak perantau bagi pria Minang dan watak Bundo Kanduang bagi wanita Minang, mereka menjadi wanita yang sangat terampil dan cermat dalam mendidik anak-anak dan dalam mengendalikan harta pusaka.
Dengan adanya ketentuan domisili-matrilokal ini, mengharuskan para suami bersikap hati-hati karena akan selalu mendapat sorotan dari keluarga istri.
Berbagai istilah diberikan oleh orang Minang sebagai penilaian atas perangai dan tingkah laku Urang Sumando mereka. Ada Urang Sumando memperoleh sebutan terhormat sebagai "Rang Sumando Niniek-mamak", karena tingkah laku dan adat istiadatnya menyenangkan pihak keluarga istri. Namun sebaliknya banyak pula Urang Sumando ini yang mendapat gelar-gelar ejekan yang diberikan kepada Urang Sumando itu sesuai dengan tingkah polah perangai mereka itu.
"Rang Sumando" yang kerjanya hanya kawin-cerai di setiap kampung dan meninggalkan anak dimana-mana disebut dengan "Rang Sumando" Langau-Hijau atau "Rang Sumando" Lalat-Hijau yang kerjanya meninggalkan larva (ulat) dimana-mana.
"Rang Sumando" yang kerjanya hanya mengganggu ketentraman tetangga karena menghasut dan memfitnah, atau memelihara binatang ternak yang dapat mengganggu lingkungan seperti itik, ayam, kambing dan lainnya diberi gelar "Rang Sumando Kacang Miang", yaitu sejenis kacang-kacangan yang kulitnya berbulu gatal-gatal.
Di Minangkabau berlaku pepatah "Kaluak paku kacang balimbing, daun simantuang lenggang-lenggangkan anak dipangku kemenakan dibimbing urang kampung dipatenggangkan ". Kalau seorang suami sampai lupa kepada kemenakan dan kampung halamannya sendiri, karena sibuk dan rintang dengan anak dan istrinya saja, maka suami yang demikian itu diberi gelar oleh orang kampungnya sendiri sebagai "Rang Sumando Lapiak Buruak", yang artinya Rang Sumando yang diibaratkan sama dengan tikar pandan yang lusuh di rumah istrinya.
Bagi suami atau "Rang Sumando" yang kurang memperhatikan kewajiban terhadap anak-anaknya sendiri, maka "Rang Sumando" yang demikian itu mendapat gelar "Rang Sumando apak paja", yang artinya hanya berfungsi sebagai pejantan biasa dan Rang Sumando semacam ini merupakan kebalikan dari Rang Sumando lapiak buruak yang menjadi "orang pandie" di rumah istrinya.
Dalam zaman modern ini, dimana kehidupan telah berubah dari sektor agraria menjadi sektor jasa dan industri, maka sebagian keluarga Minang terutama di rantau telah berubah dan cenderung kearah pembentukan keluarga batih dalam sistem patrilinial atau sistem keluarga barat dimana bapak merasa dirinya sebagai kepala keluarga dan sekaligus sebagai kepala kaum, menggantikan kedudukan mamak.
Kecenderungan semacam ini telah merusak tatanan sistem kekerabatan keluarga Minang yang telah melahirkan pula jenis. "Rang Sumando", bentuk baru yang dapat kita beri sebutan sebagai "Rang Sumando Gadang Malendo", yang tanpa malu-malu telah menempatkan dirinya sendiri sebagai kepala kaum, sehingga menyulitkan kedudukan mamak terhadap para kemenakannya.
(Sumber : Adat Minangkabau, Pola & Tujuan Hidup Orang Minang)
Disamping menganut sistem eksogami dalam perkawinan, adat Minang juga menganut paham yang dalam istilah antropologi disebut dengan sistem "matri-local" atau lazim disebut dengan sistem "uxori-local" yang menetapkan bahwa marapulai atau suami bermukim atau menetap disekitar pusat kediaman kaum kerabat istri, atau didalam lingkungan kekerabatan istri. Namun demikian status pesukuan marapulai atau suami tidak berubah menjadi status pesukuan istrinya. Status suami dalam lingkungan kekerabatan istrinya adalah dianggap sebagai "tamu terhormat", tetap dianggap sebagai pendatang. Sebagai pendatang kedudukannya sering digambarkan secara dramatis bagaikan "abu diatas tunggul", dalam arti kata sangat lemah, sangat mudah disingkirkan. Namun sebaliknya dapat juga diartikan bahwa suami haruslah sangat berhati-hati dalam menempatkan dirinya dilingkungan kerabat istrinya.
Dilain pihak perkawinan bagi seorang perjaka Minang berarti pula, langkah awal bagi dirinya meninggalkan kampung halaman, ibu dan bapak serta seluruh kerabatnya, untuk memulai hidup baru dilingkungan kerabat istrinya. Prosesi turun janjang dari rumah tangga orang tuanya, bagi seorang perjaka Minang adalah suatu peristiwa yang sangat mengharukan. Rasa sedih dan gembira bergalau menjadi satu. Upacara turun janjang ini, dilakukan dalam rangka upacara "japuik menjapuik", yang berlaku dalam perkawinan adat Minang.
Pepatah Minang mengatur upacara ini sebagai berikut;
Sigai mancari anau Anau tatap sigai baranjak Datang dek bajapuikPai jo baantaAyam putieh tabang siangBasuluah matoariBagalanggang mato rang banyak.(Tangga mencari enau)Enau tetap tangga berpindahDatang karena dijemputPergi dengan diantar(Bagaikan) Ayam putih terbang siangBersuluh matahariBergelanggang (disaksikan) mata orang banyak.
Maksud dari pepatah diatas adalah bahwa dalam setiap perkawinan adat Minang "semua laki-laki yang diantar ke rumah istrinya, dengan dijemput oleh keluarga istrinya secara adat dan diantar pula bersama-sama oleh keluarga pihak laki-laki secara adat pula. Mulai sejak itu suami menetap di rumah atau dikampung halaman istrinya."
Bila terjadi perceraian, suamilah yang harus pergi dari rumah istrinya. Sedangkan istri tetap tinggal dirumah kediamannya bersama anak-anaknya sebagaimana telah diatur hukum adat. Bila istrinya meninggal dunia, maka kewajiban keluarga pihak suami untuk segera menjemput suami yang sudah menjadi duda itu, untuk dibawa kembali kedalam lingkungan sukunya atau kembali ke kampung halamannya. Situasi ini sungguh sangat menyedihkan, namun begitulah ketentuan adat Minang.
Secara lahiriyah maupun rohaniah yang memiliki rumah di Minangkabau adalah wanita dan kaum pria hanya menumpang. Tempat berlindung pria Minang adalah surau. Menyedihkan memang. Tapi ini pula yang menjadi sumber dinamika pria Minang, sehingga mereka menjadi perantau atau pengembara yang tangguh.
Kenyataan ini dihayati dan diterima dengan sadar oleh hampir seluruh warga Minang, baik mereka yang menempati Rumah Gadang tradisional, maupun yang menempati rumah gedung modern, baik mereka yang bermukim di kampung halaman, maupun mereka yang sudah merantau ke kota besar.
Berdasarkan pola yang demikian, sudah lazim penghuni Rumah Gadang di Minangkabau adalah kaum wanita dengan suami dan anak-anak mereka terutama anak-anak wanita. Anak-anak laki-laki mulai usia sekolah, dulu sudah harus mengaji di surau-surau, belajar silat, bergaul dengan pria dalam segala tingkat usia, sehingga mereka terbiasa hidup secara spartan (secara keras dan jantan).
Dalam struktur adat Minang, kedudukan suami sebagai orang datang (Urang Sumando) sangat lemah. Sedangkan kedudukan anak-lelaki, secara fisik tidak punya tempat di rumah ibunya. Bila terjadi sesuatu di rumah tangganya sendiri, maka ia tidak lagi memiliki tempat tinggal.
Situasi macam ini secara logis mendorong pria Minang untuk berusaha menjadi orang baik agar disengani oleh dunsanaknya sendiri, maupun oleh keluarga pihak istrinya.
Pada dasarnya di Minangkabau anak laki-laki sejak kecil sudah dipaksa hidup berpisah dengan orang tua dan saudara-saudara wanitanya. Mereka dipaksa hidup berkelompok di surau-surau dan tidak lagi hidup di rumah Gadang dengan ibunya.
Sekalipun di rumah gedung modern sudah ada pencampuran hidup bersama antara anak lelaki dan anak wanita Minang, namun prinsip pergaulan terpisah ini tetap dijalankan. Antara mereka anak lelaki dan anak wanita tetap mempunyai jarak dalam pergaulan sehari-hari. Hal ini merupakan salah satu dasar dari ajaran moralita menurut adat Minang. Adat Minang tidak mengenal ajaran pergaulan bebas, walau antara saudara kandung sendiri.
Kehidupan keluarga yang seperti ini, diperkirakan telah melahirkan watak perantau bagi pria Minang dan watak Bundo Kanduang bagi wanita Minang, mereka menjadi wanita yang sangat terampil dan cermat dalam mendidik anak-anak dan dalam mengendalikan harta pusaka.
Dengan adanya ketentuan domisili-matrilokal ini, mengharuskan para suami bersikap hati-hati karena akan selalu mendapat sorotan dari keluarga istri.
Berbagai istilah diberikan oleh orang Minang sebagai penilaian atas perangai dan tingkah laku Urang Sumando mereka. Ada Urang Sumando memperoleh sebutan terhormat sebagai "Rang Sumando Niniek-mamak", karena tingkah laku dan adat istiadatnya menyenangkan pihak keluarga istri. Namun sebaliknya banyak pula Urang Sumando ini yang mendapat gelar-gelar ejekan yang diberikan kepada Urang Sumando itu sesuai dengan tingkah polah perangai mereka itu.
"Rang Sumando" yang kerjanya hanya kawin-cerai di setiap kampung dan meninggalkan anak dimana-mana disebut dengan "Rang Sumando" Langau-Hijau atau "Rang Sumando" Lalat-Hijau yang kerjanya meninggalkan larva (ulat) dimana-mana.
"Rang Sumando" yang kerjanya hanya mengganggu ketentraman tetangga karena menghasut dan memfitnah, atau memelihara binatang ternak yang dapat mengganggu lingkungan seperti itik, ayam, kambing dan lainnya diberi gelar "Rang Sumando Kacang Miang", yaitu sejenis kacang-kacangan yang kulitnya berbulu gatal-gatal.
Di Minangkabau berlaku pepatah "Kaluak paku kacang balimbing, daun simantuang lenggang-lenggangkan anak dipangku kemenakan dibimbing urang kampung dipatenggangkan ". Kalau seorang suami sampai lupa kepada kemenakan dan kampung halamannya sendiri, karena sibuk dan rintang dengan anak dan istrinya saja, maka suami yang demikian itu diberi gelar oleh orang kampungnya sendiri sebagai "Rang Sumando Lapiak Buruak", yang artinya Rang Sumando yang diibaratkan sama dengan tikar pandan yang lusuh di rumah istrinya.
Bagi suami atau "Rang Sumando" yang kurang memperhatikan kewajiban terhadap anak-anaknya sendiri, maka "Rang Sumando" yang demikian itu mendapat gelar "Rang Sumando apak paja", yang artinya hanya berfungsi sebagai pejantan biasa dan Rang Sumando semacam ini merupakan kebalikan dari Rang Sumando lapiak buruak yang menjadi "orang pandie" di rumah istrinya.
Dalam zaman modern ini, dimana kehidupan telah berubah dari sektor agraria menjadi sektor jasa dan industri, maka sebagian keluarga Minang terutama di rantau telah berubah dan cenderung kearah pembentukan keluarga batih dalam sistem patrilinial atau sistem keluarga barat dimana bapak merasa dirinya sebagai kepala keluarga dan sekaligus sebagai kepala kaum, menggantikan kedudukan mamak.
Kecenderungan semacam ini telah merusak tatanan sistem kekerabatan keluarga Minang yang telah melahirkan pula jenis. "Rang Sumando", bentuk baru yang dapat kita beri sebutan sebagai "Rang Sumando Gadang Malendo", yang tanpa malu-malu telah menempatkan dirinya sendiri sebagai kepala kaum, sehingga menyulitkan kedudukan mamak terhadap para kemenakannya.
(Sumber : Adat Minangkabau, Pola & Tujuan Hidup Orang Minang)
3. Perkawinan Eksogami
3. Perkawinan Eksogami
Menurut ajaran Islam sebagai agama satu-satunya yang dianut orang Minang dikatakan bahwa ada 3 hal yang mutlak hanya diketahui dan ditentukan Tuhan untuk masing-masing kita. Pertama adalah umur kita sebagai manusia. Tidak seorangpun tahu kapan dia akan mati. Kedua adalah rezeki. Sebagai manusia kita hanya dituntut berikhtiar dan berusaha namun berapa rezeki yang akan diberikan kepada kita secara mutlak ditentukan oleh Tuhan. Ketiga adalah jodoh. Apapun upaya yang dilakukan oleh anak manusia, bagaimanapun cintanya dia kepada seseorang, kalau Tuhan tidak mengizinkan, perkawinan tidak akan terlaksana.
Sebaliknya kalau memang jodohnya, kenal dua minggupun, perkawinan dapat terjadi. Karena itu sebagai orang Islam kita hanya senantiasa berdoa semoga dipanjangkan umurnya, diberi rezeki yang banyak dan dientengkan jodohnya, disamping tetap berusaha mencari pasangan hidupnya.
Sekalipun demikian masyarakatpun mempunyai peranan yang besar dalam penetapan jodoh. Dalam masyarakat Jawa misalnya, pemilihan jodoh hampir tidak ada pembatasan. Namun perkawinan antara saudara sekandung tetap tidak diperbolehkan.
Pada tiap masyarakat, orang memang harus kawin diluar batas suatu lingkungan tertentu. Perkawinan diluar batas tertentu ini disebut dengan istilah "eksogami".
Istilah eksogami ini mempunyai pengertian yang sangat nisbi (relatif). Pengertian diluar batas lingkungan bisa diartikan luas namun bisa pula sangat sempit.
Menurut Prof. Dr. Koentjaraningrat kalau orang dilarang kawin dengan saudara-saudara kandungnya, maka kita sebut "eksogami keluarga batih". Kalau orang dilarang kawin dengan semua orang yang mempunyai marga "marga" yang sama, disebut "eksogami marga". Kalau orang dilarang kawin dengan orang yang berasal dari "nagari" yang sama, kita sebut dengan "eksogami nagari".
Adat Minang menentukan bahwa orang Minang dilarang kawin dengan orang dari suku yang serumpun. Oleh karena garis keturunan di Minangkabau ditentukan menurut garis ibu, maka suku serumpun disini dimaksudkan "serumpun menurut garis ibu", maka disebut "eksogami matrilokal atau eksogami matrilinial".
Dalam hal ini para ninik-mamak, alim ulama, cendekiawan, para pakar adat dan pecinta adat Minang dituntut untuk memberikan kata sepakat mengenai rumusan (definisi) pengertian kata serumpun ini yang akan diperlakukan dalam perkawinan di Minang kabau. Apakah "serumpun" itu sama dengan "samande", "saparuik", "sajurai", "sasuku", ataukah "sasuduik".
Pengamatan kami membuktikan bahwa pengertian "serumpun" ini tidak sama di Minangkabau. Bahkan dalam satu nagari saja, pengertian ini tidak sama, sehingga sangat membingungkan masyarakat awam, apalagi generasi muda Minangkabau.
Di nagari kubang di Luhak 50-Kota misalnya, pengetian serumpun disamakan dengan "sasuduik". Yang dimaksudkan dengan "sasuduik" adalah satu kelompok dari beberapa "suku". Misalnya "Suduik nan 5", terdiri dari 5 (lima) buah suku yaitu suku Jambak, suku Pitopang, suku Kutianyir, suku Salo dan suku Banuhampu.
Kelima buah suku ini dianggap serumpun, sehingga antara kelima buah suku itu tidak boleh dilakukan perkawinan. Kalau sampai terjadi bisa "dibuang sepanjang adat" karena dianggap perkawinan "endogami" atau perkawinan didalam rumpun sendiri, yang berlawanan dengan prinsip "eksogami" yang dianut di Minangkabau.
Tapi pengertian "sarumpun" sama dengan "sasuduik" ini tidak konsisten pula, sebab ternyata perkawinan sesama anggota dari "suduik nan 6" dan sama-sama berasal dari suku "Caniago" dan dalam nagari yang sama, malah diperbolehkan. Pengertian "serumpun" yang tidak konsisten semacam ini, jelas akan sangat membingungkan anak kemenakan di Minangkabau dalam memahami adat perkawinan di Minangkabau.
Pengertian serumpun yang tidak sama ini juga merupakan penghalang dalam mencari jodoh. Semakin luas atau semakin banyak suku yang terhimpun dalam "serumpun" semakin "sempit" arena perburuan mencari jodoh. Hal ini berakibat makin lama, makin sulit bagi muda-mudi mencari pasangan dalam lingkungan masyarakatnya sendiri. Misalnya bagi muda-mudi dari sudut nan 5 diatas, sangat musykil mencari jodoh di nagari Kubang itu. Ini adalah suatu realita yang dapat dibuktikan. Akibatnya banyak yang kawin ke luar "nagari", bahkan sudah ada yang sampai ke luar negeri.
Kami tidak mengatakan bahwa hal ini menunjukkan gejala yang baik, atau tidak baik, tetapi sekedar menunjukkan bahwa prinsip "eksogami matrilinial" akan mandek sendiri, bila pengertian serumpun tidak segera direvisi dan diperkecil dari pengertian umum yang ada sekarang. Hal ini perlu segera dilakukan bila kita ingin melestarikan prinsip-prinsip pokok adat perkawinan Minangkabau khususnya.
(Sumber : Adat Minangkabau, Pola & Tujuan Hidup Orang Minang)
Menurut ajaran Islam sebagai agama satu-satunya yang dianut orang Minang dikatakan bahwa ada 3 hal yang mutlak hanya diketahui dan ditentukan Tuhan untuk masing-masing kita. Pertama adalah umur kita sebagai manusia. Tidak seorangpun tahu kapan dia akan mati. Kedua adalah rezeki. Sebagai manusia kita hanya dituntut berikhtiar dan berusaha namun berapa rezeki yang akan diberikan kepada kita secara mutlak ditentukan oleh Tuhan. Ketiga adalah jodoh. Apapun upaya yang dilakukan oleh anak manusia, bagaimanapun cintanya dia kepada seseorang, kalau Tuhan tidak mengizinkan, perkawinan tidak akan terlaksana.
Sebaliknya kalau memang jodohnya, kenal dua minggupun, perkawinan dapat terjadi. Karena itu sebagai orang Islam kita hanya senantiasa berdoa semoga dipanjangkan umurnya, diberi rezeki yang banyak dan dientengkan jodohnya, disamping tetap berusaha mencari pasangan hidupnya.
Sekalipun demikian masyarakatpun mempunyai peranan yang besar dalam penetapan jodoh. Dalam masyarakat Jawa misalnya, pemilihan jodoh hampir tidak ada pembatasan. Namun perkawinan antara saudara sekandung tetap tidak diperbolehkan.
Pada tiap masyarakat, orang memang harus kawin diluar batas suatu lingkungan tertentu. Perkawinan diluar batas tertentu ini disebut dengan istilah "eksogami".
Istilah eksogami ini mempunyai pengertian yang sangat nisbi (relatif). Pengertian diluar batas lingkungan bisa diartikan luas namun bisa pula sangat sempit.
Menurut Prof. Dr. Koentjaraningrat kalau orang dilarang kawin dengan saudara-saudara kandungnya, maka kita sebut "eksogami keluarga batih". Kalau orang dilarang kawin dengan semua orang yang mempunyai marga "marga" yang sama, disebut "eksogami marga". Kalau orang dilarang kawin dengan orang yang berasal dari "nagari" yang sama, kita sebut dengan "eksogami nagari".
Adat Minang menentukan bahwa orang Minang dilarang kawin dengan orang dari suku yang serumpun. Oleh karena garis keturunan di Minangkabau ditentukan menurut garis ibu, maka suku serumpun disini dimaksudkan "serumpun menurut garis ibu", maka disebut "eksogami matrilokal atau eksogami matrilinial".
Dalam hal ini para ninik-mamak, alim ulama, cendekiawan, para pakar adat dan pecinta adat Minang dituntut untuk memberikan kata sepakat mengenai rumusan (definisi) pengertian kata serumpun ini yang akan diperlakukan dalam perkawinan di Minang kabau. Apakah "serumpun" itu sama dengan "samande", "saparuik", "sajurai", "sasuku", ataukah "sasuduik".
Pengamatan kami membuktikan bahwa pengertian "serumpun" ini tidak sama di Minangkabau. Bahkan dalam satu nagari saja, pengertian ini tidak sama, sehingga sangat membingungkan masyarakat awam, apalagi generasi muda Minangkabau.
Di nagari kubang di Luhak 50-Kota misalnya, pengetian serumpun disamakan dengan "sasuduik". Yang dimaksudkan dengan "sasuduik" adalah satu kelompok dari beberapa "suku". Misalnya "Suduik nan 5", terdiri dari 5 (lima) buah suku yaitu suku Jambak, suku Pitopang, suku Kutianyir, suku Salo dan suku Banuhampu.
Kelima buah suku ini dianggap serumpun, sehingga antara kelima buah suku itu tidak boleh dilakukan perkawinan. Kalau sampai terjadi bisa "dibuang sepanjang adat" karena dianggap perkawinan "endogami" atau perkawinan didalam rumpun sendiri, yang berlawanan dengan prinsip "eksogami" yang dianut di Minangkabau.
Tapi pengertian "sarumpun" sama dengan "sasuduik" ini tidak konsisten pula, sebab ternyata perkawinan sesama anggota dari "suduik nan 6" dan sama-sama berasal dari suku "Caniago" dan dalam nagari yang sama, malah diperbolehkan. Pengertian "serumpun" yang tidak konsisten semacam ini, jelas akan sangat membingungkan anak kemenakan di Minangkabau dalam memahami adat perkawinan di Minangkabau.
Pengertian serumpun yang tidak sama ini juga merupakan penghalang dalam mencari jodoh. Semakin luas atau semakin banyak suku yang terhimpun dalam "serumpun" semakin "sempit" arena perburuan mencari jodoh. Hal ini berakibat makin lama, makin sulit bagi muda-mudi mencari pasangan dalam lingkungan masyarakatnya sendiri. Misalnya bagi muda-mudi dari sudut nan 5 diatas, sangat musykil mencari jodoh di nagari Kubang itu. Ini adalah suatu realita yang dapat dibuktikan. Akibatnya banyak yang kawin ke luar "nagari", bahkan sudah ada yang sampai ke luar negeri.
Kami tidak mengatakan bahwa hal ini menunjukkan gejala yang baik, atau tidak baik, tetapi sekedar menunjukkan bahwa prinsip "eksogami matrilinial" akan mandek sendiri, bila pengertian serumpun tidak segera direvisi dan diperkecil dari pengertian umum yang ada sekarang. Hal ini perlu segera dilakukan bila kita ingin melestarikan prinsip-prinsip pokok adat perkawinan Minangkabau khususnya.
(Sumber : Adat Minangkabau, Pola & Tujuan Hidup Orang Minang)
2. Perkawinan Adat Minangkabau
2. Perkawinan Adat Minangkabau
Dalam tiap masyarakat dengan susunan kekerabatan bagaimanapun, perkawinan memerlukan penyesuaian dalam banyak hal.
Perkawinan menimbulkan hubungan baru tidak saja antara pribadi yang bersangkutan, antara marapulai dan anak dara tetapi juga antara kedua keluarga.
Latar belakang antara kedua keluarga bisa sangat berbeda baik asal-usul, kebiasaan hidup, pendidikan, tingkat sosial, tatakrama, bahasa dan lain sebagainya. Karena itu syarat utama yang harus dipenuhi dalam perkawinan, kesediaan dan kemampuan untuk menyesuaikan diri dari masing-masing pihak.
Pengenalan dan pendekatan untuk dapat mengenal watak masing-masing pribadi dan keluarganya penting sekali untuk memperoleh keserasian atau keharmonisan dalam pergaulan antara keluarga kelak kemudian.
Perkawinan juga menuntut suatu tanggungjawab, antaranya menyangkut nafkah lahir dan batin, jaminan hidup dan tanggungjawab pendidikan anak-anak yang akan dilahirkan.
Berpilin duanya antara adat dan agama Islam di Minangkabau membawa konsekwensi sendiri. Baik ketentuan adat, maupun ketentuan agama dalam mengatur hidup dan kehidupan masyarakat Minang, tidak dapat diabaikan khususnya dalam pelaksanaan perkawinan. Kedua aturan itu harus dipelajari dan dilaksanakan dengan cara serasi, seiring dan sejalan.
Pelanggaran apalagi pendobrakan terhadap salah satu ketentuan adat maupun ketentuan agama Islam dalam masalah perkawinan, akan membawa konsekwensi yang pahit sepanjang hayat dan bahkan berkelanjutan dengan keturunan.
Hukuman yang dijatuhkan masyarakat adat dan agama, walau tak pernah diundangkan sangat berat dan kadangkala jauh lebih berat dari pada hukuman yang dijatuhkan Pengadilan Agama maupun Pengadilan Negara.
Hukuman itu tidak kentara dalam bentuk pengucilan dan pengasingan dari pergaulan masyarakat Minang. Karena itu dalam perkawinan orang Minang selalu berusaha memenuhi semua syarat perkawinan yang lazim di Minangkabau.
Syarat-syarat itu menurut Fiony Sukmasari dalam bukunya Perkawinan Adat Minangkabau adalah sebagai berikut :
Kedua calon mempelai harus beragama Islam.
Kedua calon mempelai tidak sedarah atau tidak berasal dari suku yang sama, kecuali pesukuan itu berasal dari nagari atau luhak yang lain.
Kedua calon mempelai dapat saling menghormati dan menghargai orang tua dan keluarga kedua belah pihak.
Calon suami (marapulai) harus sudah mempunyai sumber penghasilan untuk dapat menjamin kehidupan keluarganya.
Perkawinan yang dilakukan tanpa memenuhi semua syarat diatas dianggap perkawinan sumbang, atau perkawinan yang tidak memenuhi syarat menurut adat Minang.
Selain dari itu masih ada tatakrama dan upacara adat dan ketentuan agama Islam yang harus dipenuhi seperti tatakrama jopuik manjopuik, pinang meminang, batuka tando, akad nikah, baralek gadang, jalang manjalang dan sebagainya.
Tatakrama dan upacara adat perkawinan inipun tak mungkin diremehkan karena semua orang Minang menganggap bahwa "Perkawinan itu sesuatu yang agung", yang kini diyakini hanya "sekali" seumur hidup.
(Sumber : Adat Minangkabau, Pola & Tujuan Hidup Orang Minang)
Dalam tiap masyarakat dengan susunan kekerabatan bagaimanapun, perkawinan memerlukan penyesuaian dalam banyak hal.
Perkawinan menimbulkan hubungan baru tidak saja antara pribadi yang bersangkutan, antara marapulai dan anak dara tetapi juga antara kedua keluarga.
Latar belakang antara kedua keluarga bisa sangat berbeda baik asal-usul, kebiasaan hidup, pendidikan, tingkat sosial, tatakrama, bahasa dan lain sebagainya. Karena itu syarat utama yang harus dipenuhi dalam perkawinan, kesediaan dan kemampuan untuk menyesuaikan diri dari masing-masing pihak.
Pengenalan dan pendekatan untuk dapat mengenal watak masing-masing pribadi dan keluarganya penting sekali untuk memperoleh keserasian atau keharmonisan dalam pergaulan antara keluarga kelak kemudian.
Perkawinan juga menuntut suatu tanggungjawab, antaranya menyangkut nafkah lahir dan batin, jaminan hidup dan tanggungjawab pendidikan anak-anak yang akan dilahirkan.
Berpilin duanya antara adat dan agama Islam di Minangkabau membawa konsekwensi sendiri. Baik ketentuan adat, maupun ketentuan agama dalam mengatur hidup dan kehidupan masyarakat Minang, tidak dapat diabaikan khususnya dalam pelaksanaan perkawinan. Kedua aturan itu harus dipelajari dan dilaksanakan dengan cara serasi, seiring dan sejalan.
Pelanggaran apalagi pendobrakan terhadap salah satu ketentuan adat maupun ketentuan agama Islam dalam masalah perkawinan, akan membawa konsekwensi yang pahit sepanjang hayat dan bahkan berkelanjutan dengan keturunan.
Hukuman yang dijatuhkan masyarakat adat dan agama, walau tak pernah diundangkan sangat berat dan kadangkala jauh lebih berat dari pada hukuman yang dijatuhkan Pengadilan Agama maupun Pengadilan Negara.
Hukuman itu tidak kentara dalam bentuk pengucilan dan pengasingan dari pergaulan masyarakat Minang. Karena itu dalam perkawinan orang Minang selalu berusaha memenuhi semua syarat perkawinan yang lazim di Minangkabau.
Syarat-syarat itu menurut Fiony Sukmasari dalam bukunya Perkawinan Adat Minangkabau adalah sebagai berikut :
Kedua calon mempelai harus beragama Islam.
Kedua calon mempelai tidak sedarah atau tidak berasal dari suku yang sama, kecuali pesukuan itu berasal dari nagari atau luhak yang lain.
Kedua calon mempelai dapat saling menghormati dan menghargai orang tua dan keluarga kedua belah pihak.
Calon suami (marapulai) harus sudah mempunyai sumber penghasilan untuk dapat menjamin kehidupan keluarganya.
Perkawinan yang dilakukan tanpa memenuhi semua syarat diatas dianggap perkawinan sumbang, atau perkawinan yang tidak memenuhi syarat menurut adat Minang.
Selain dari itu masih ada tatakrama dan upacara adat dan ketentuan agama Islam yang harus dipenuhi seperti tatakrama jopuik manjopuik, pinang meminang, batuka tando, akad nikah, baralek gadang, jalang manjalang dan sebagainya.
Tatakrama dan upacara adat perkawinan inipun tak mungkin diremehkan karena semua orang Minang menganggap bahwa "Perkawinan itu sesuatu yang agung", yang kini diyakini hanya "sekali" seumur hidup.
(Sumber : Adat Minangkabau, Pola & Tujuan Hidup Orang Minang)
1. Fungsi Perkawinan
BAB V ADAT PERKAWINAN
1. Fungsi perkawinan
Manusia dalam perjalanan hidupnya melalui tingkat dan masa-masa tertentu yang dapat kita sebut dengan daur-hidup. Daur hidup ini dapat dibagi menjadi masa balita (bawah usia lima tahun), masa kanak-kanak, masa remaja, masa pancaroba, masa perkawinan, masa berkeluarga, masa usia senja dan masa tua.
Tiap peralihan dari satu masa ke masa berikutnya merupakan saat kritis dalam kehidupan manusia itu sendiri.
Salah satu masa peralihan yang sangat penting dalam Adat Minangkabau adalah pada saat menginjak masa perkawinan. Masa perkawinan merupakan masa permulaan bagi seseorang melepaskan dirinya dari lingkungan kelompok keluarganya, dan mulai membentuk kelompok kecil miliknya sendiri, yang secara rohaniah tidak lepas dari pengaruh kelompok hidupnya semula. Dengan demikian perkawinan dapat juga disebut sebagai titik awal dari proses pemekaran kelompok.
Pada umumnya perkawinan mempunyai aneka fungsi sebagai berikut :
Sebagai sarana legalisasi hubungan seksual antara pria dengan wanita dipandang dari sudut adat dan agama serta undang-undang negara.
Penentuan hak dan kewajiban serta perlindungan atas suami istri dan anak-anak.
Memenuhi kebutuhan manusia akan teman hidup status sosial dan terutama untuk memperoleh ketentraman batin.
· Memelihara kelangsungan hidup "kekerabatan" dan menghindari kepunahan.
(Sumber : Adat Minangkabau, Pola & Tujuan Hidup Orang Minang)
1. Fungsi perkawinan
Manusia dalam perjalanan hidupnya melalui tingkat dan masa-masa tertentu yang dapat kita sebut dengan daur-hidup. Daur hidup ini dapat dibagi menjadi masa balita (bawah usia lima tahun), masa kanak-kanak, masa remaja, masa pancaroba, masa perkawinan, masa berkeluarga, masa usia senja dan masa tua.
Tiap peralihan dari satu masa ke masa berikutnya merupakan saat kritis dalam kehidupan manusia itu sendiri.
Salah satu masa peralihan yang sangat penting dalam Adat Minangkabau adalah pada saat menginjak masa perkawinan. Masa perkawinan merupakan masa permulaan bagi seseorang melepaskan dirinya dari lingkungan kelompok keluarganya, dan mulai membentuk kelompok kecil miliknya sendiri, yang secara rohaniah tidak lepas dari pengaruh kelompok hidupnya semula. Dengan demikian perkawinan dapat juga disebut sebagai titik awal dari proses pemekaran kelompok.
Pada umumnya perkawinan mempunyai aneka fungsi sebagai berikut :
Sebagai sarana legalisasi hubungan seksual antara pria dengan wanita dipandang dari sudut adat dan agama serta undang-undang negara.
Penentuan hak dan kewajiban serta perlindungan atas suami istri dan anak-anak.
Memenuhi kebutuhan manusia akan teman hidup status sosial dan terutama untuk memperoleh ketentraman batin.
· Memelihara kelangsungan hidup "kekerabatan" dan menghindari kepunahan.
(Sumber : Adat Minangkabau, Pola & Tujuan Hidup Orang Minang)
4. Sambah Manyambah
4. Sambah Manyambah
Sambah-manyambah adalah satu tata cara menurut adat istiadat Minangkabau, yang mengatur tata tertib dan sopan santun pembicaraan orang dalam sebuah pertemuan. Kata-kata sambah yang dalam bahasa Indonesia berarti sembah, diambil dari semacam sikap awal yang dilakukan oleh setiap orang yang akan melaksanakan pasambahan. Sebelum memulai pembicaraannya ia harus terlebih dahulu mengangkat dan mempertemukan kedua telapak tangannya lurus diantara kening dan hidung bagaikan orang menyembah. Begitu pula sebaliknya sikap yang dilakukan lawan bicara ketika menerima sembah.
Sikap ini saja sudah menjelaskan intu hakikat dari acara tersebut, yaitu bagaimana masing-masing pihak yang bertemu dalam satu pertemuan bisa saling menghormati saling memperlihatkan adat sopan santun dan budi bahasa yang baik, termasuk dalam mengatur kata-kata yang akan diucapkan. Dan dalam sambah-manyambah ini bahasa Minang yang dipergunakan memang agak berbeda dengan bahasa yang diucapkan orang sehari-hari. Bahasa yang dipakai diambil dari bahasa kesusasteraan Minang lama yang liris prosais, penuh pepatah petitih dan dalam kalimat-kalimatnya banyak menjajarkan berbagai ungkapan dan sinonim untuk mempertegas maksud yang disampaikan.
Didalam aturan adat Minangkabau, tata cara sambah manyambah ini justru diletakkan sebagai lembaga pertama tentang adab sopan santun basa basi yang harus dilakukan oleh setiap orang yang bertemu dalam satu musyawarah. Sebagaimana gurindam adat menyebut :
Tasasak putiang ka huluDibawah kiliaran tajiAso mulo rundiang dahuluTigo limbago nan tajali
Partamo sambah manyambah, kaduo baso jo basi, katigo siriah jo pinang. Sambah manyambah dalam adaik, tali batali undang-undang, tasabuik bamuluik manih, muluik manih talempong kato, baso baiak gulo dibibia, pandai batimbang baso-basi, pandai bamain ereng gendeng, di dalam adaik nan bapakai, banamo adaik sopan santun.
Tiga Tingkat Pasambahan
Untuk zaman sekarang dengan mobilitas dan dinamika kehidupan yang begitu tinggi, terutama bagi orang-orang yang sudah biasa dikejar-kejar waktu dikota-kota besar, mendengarkan orang melakukan sambah-manyambah dalam bentuknya yang masih asli seperti yang terdapat dikampung-kampung di Sumatera Barat, sering mengundang kebosanan karena panjang dan lamanya.
Namun menurut tata cara sambah-manyambah tidak ada peraturan yang menetapkan bahwa orang yang akan melakukan pasambahan harus bisa melafaskan tambo, yaitu sejarah nenek moyang dan pepatah petitih Minang didalam pembicaraannya. Karena tujuannya yang utama adalah untuk melihatkan basa-basi sopan-santun. Jika sikap itu sudah tidak tercermin dalam tiga-empat kalimat prosais yang disampaikan secara tepat, maka itupun sudah sah disebut sebagai pasambahan.
Didalam tata cara sambah-manyambah disebutkan ada tiga macam tingkat pasambahan dengan tiga macam gaya yang dapat dilakukan dalam tiga acara yang berbeda pula.
Pertama, pidato adat, kedua pasambahan penghulu dan ketiga pasambahan pangka batang.
Pidato adat. Ini adalah tingkat yang paling tertinggi yang umumnya cuma dikuasai oleh para ahlinya dikalangan Penghulu Pucuk. Pembicara bukan saja sangat mengetahui tentang Undang-undang dan Hukum Adat Minangkabau tetapi juga sangat hafal mengenai tambo dan sejarah serta sangat fasih menyebut pepatah petitih lama. Penyampaian kalimat-kalimatnya pun selain mengikuti gaya liris prosais Minang dengan empat-empat suku kata tiap kalimat, sering juga mampu membawakannya dalam gaya setengah senandung.
Pidato adat ini biasanya ditampilkan dalam musyawarah-musyawarah besar para penghulu yang diadakan dibalairung adat. Yang menguasai gaya dan kemahiran ini nampaknya sekarang ini tidak banyak lagi bisa ditemukan di Sumatera Barat.
Pasambahan Penghulu. Walaupun kemampuan melakukan pasambahan penghulu ini dahulunya merupakan salah satu syarat yang harus dimiliki oleh seorang penghulu adat, tapi kenyataan sekarang tidak semua orang Minang yang menyandang gelar Datuk bisa melakukannya. Beberapa acara sesuai dengan siklus kehidupan manusia sejak dari kelahiran sampai kematian, terutama yang menyangkut kehidupan seorang penghulu, di Minangkabau upacaranya juga harus dilakukan oleh para penghulu. Akan sangat janggal rasanya jika di dalam upacara semacam itu ada penghulu yang tidak mampu melakukan pembicaraan dalam gaya pasambahan. Sehingga lahir idiom lama yang mengatakan Indak panghulu manulak sambah.
Apalagi dalam upacara pengangkatan seorang atau sejumlah penghulu baru yang sering dilakukan secara istimewa di kampung-kampung, maka kemahiran seorang Datuk dalam sambah-manyambah akan sangat teruji di gelanggang tsb. Malah sering kali gelanggang semacam itu menjadi ajang bagi para penghulu untuk saling memperagakan kemahiran masing-masing.
Untuk acara adat batagak penghulu inilah, tata cara sambah-manyambah memang diharuskan untuk mengikuti ketentuan-ketentuan sesuai dengan peraturan yang berlaku menurut luhak adat masing-masing. Dan sering bagi orang awam nampak panjang bertele-tele, karena tidak mengerti peraturannya.
Setiap pembicaraan harus disampaikan kepada sejumlah orang yang menerima pembicaraan harus selalu mengulangi pembicaraan orang itu, setiap menyampaikannya kepada orang lain lagi. Dan pemulangan jawabannya pun harus melalui siklus yang sama sehingga sampai kembali kepada pembicara pertama. Inilah yang didalam pepatah-petitih disebut :
Lamak kato dipakatokan,Lamak samba dikunyah-kunyah,Bakato indak sadang sapatah,Bajalan indak sadang salangkah
Pasambahan Pangka Batang. Ini adalah gaya bahasa pasambahan yang dapat dilakukan oleh siapa saja. Dan bisa ditampilkan dalam acara-acara lain yang bukan acara batagak penghulu misalnya seperti dalam acara perkawinan. Menurut kebiasaan yang berlaku sejak dulu di Minangkabau, kewajiban untuk melakukan sambah-manyambah dalam acara perkawinan tidaklah terpikul kepada Datuk-datuk tetapi merupakan kewajibana para menantu atau orang-orang semenda baru yang ada di atas rumah. Mereka inilah yang lazim diberi tugas untuk menjemput calon mempelai pria, dan akrena itu pulalah mereka harus menguasai tata tertib berbicara menurut alur persembahan walaupun secara sederhana. Tata cara yang sederhana inilah yang didalam kategori sambah manyambah disebut pangka batang. Artinya menguasai bagian-bagian yang pokok saja.
Pengertian pokok disini, adalah dalam cara menyampaikan maksud dan tujuan. Pembicara tidaklah perlu harus mengungkapkan tambo sejarah nagari, hukum adat dll yang sama sekali tidak ada hubungannya dengan maksud dan tujuan pembicaraan. Tetapi kalimat-kalimat yang menyiratkan keramahan, tata tertib, basa basi dan sopan santun, tetap harus dipertahankan sesuai dengan esensi adat sambah manyambah itu sendiri.
(Sumber : Tata Cara Perkawinan Adat Minangkabau)
Sambah-manyambah adalah satu tata cara menurut adat istiadat Minangkabau, yang mengatur tata tertib dan sopan santun pembicaraan orang dalam sebuah pertemuan. Kata-kata sambah yang dalam bahasa Indonesia berarti sembah, diambil dari semacam sikap awal yang dilakukan oleh setiap orang yang akan melaksanakan pasambahan. Sebelum memulai pembicaraannya ia harus terlebih dahulu mengangkat dan mempertemukan kedua telapak tangannya lurus diantara kening dan hidung bagaikan orang menyembah. Begitu pula sebaliknya sikap yang dilakukan lawan bicara ketika menerima sembah.
Sikap ini saja sudah menjelaskan intu hakikat dari acara tersebut, yaitu bagaimana masing-masing pihak yang bertemu dalam satu pertemuan bisa saling menghormati saling memperlihatkan adat sopan santun dan budi bahasa yang baik, termasuk dalam mengatur kata-kata yang akan diucapkan. Dan dalam sambah-manyambah ini bahasa Minang yang dipergunakan memang agak berbeda dengan bahasa yang diucapkan orang sehari-hari. Bahasa yang dipakai diambil dari bahasa kesusasteraan Minang lama yang liris prosais, penuh pepatah petitih dan dalam kalimat-kalimatnya banyak menjajarkan berbagai ungkapan dan sinonim untuk mempertegas maksud yang disampaikan.
Didalam aturan adat Minangkabau, tata cara sambah manyambah ini justru diletakkan sebagai lembaga pertama tentang adab sopan santun basa basi yang harus dilakukan oleh setiap orang yang bertemu dalam satu musyawarah. Sebagaimana gurindam adat menyebut :
Tasasak putiang ka huluDibawah kiliaran tajiAso mulo rundiang dahuluTigo limbago nan tajali
Partamo sambah manyambah, kaduo baso jo basi, katigo siriah jo pinang. Sambah manyambah dalam adaik, tali batali undang-undang, tasabuik bamuluik manih, muluik manih talempong kato, baso baiak gulo dibibia, pandai batimbang baso-basi, pandai bamain ereng gendeng, di dalam adaik nan bapakai, banamo adaik sopan santun.
Tiga Tingkat Pasambahan
Untuk zaman sekarang dengan mobilitas dan dinamika kehidupan yang begitu tinggi, terutama bagi orang-orang yang sudah biasa dikejar-kejar waktu dikota-kota besar, mendengarkan orang melakukan sambah-manyambah dalam bentuknya yang masih asli seperti yang terdapat dikampung-kampung di Sumatera Barat, sering mengundang kebosanan karena panjang dan lamanya.
Namun menurut tata cara sambah-manyambah tidak ada peraturan yang menetapkan bahwa orang yang akan melakukan pasambahan harus bisa melafaskan tambo, yaitu sejarah nenek moyang dan pepatah petitih Minang didalam pembicaraannya. Karena tujuannya yang utama adalah untuk melihatkan basa-basi sopan-santun. Jika sikap itu sudah tidak tercermin dalam tiga-empat kalimat prosais yang disampaikan secara tepat, maka itupun sudah sah disebut sebagai pasambahan.
Didalam tata cara sambah-manyambah disebutkan ada tiga macam tingkat pasambahan dengan tiga macam gaya yang dapat dilakukan dalam tiga acara yang berbeda pula.
Pertama, pidato adat, kedua pasambahan penghulu dan ketiga pasambahan pangka batang.
Pidato adat. Ini adalah tingkat yang paling tertinggi yang umumnya cuma dikuasai oleh para ahlinya dikalangan Penghulu Pucuk. Pembicara bukan saja sangat mengetahui tentang Undang-undang dan Hukum Adat Minangkabau tetapi juga sangat hafal mengenai tambo dan sejarah serta sangat fasih menyebut pepatah petitih lama. Penyampaian kalimat-kalimatnya pun selain mengikuti gaya liris prosais Minang dengan empat-empat suku kata tiap kalimat, sering juga mampu membawakannya dalam gaya setengah senandung.
Pidato adat ini biasanya ditampilkan dalam musyawarah-musyawarah besar para penghulu yang diadakan dibalairung adat. Yang menguasai gaya dan kemahiran ini nampaknya sekarang ini tidak banyak lagi bisa ditemukan di Sumatera Barat.
Pasambahan Penghulu. Walaupun kemampuan melakukan pasambahan penghulu ini dahulunya merupakan salah satu syarat yang harus dimiliki oleh seorang penghulu adat, tapi kenyataan sekarang tidak semua orang Minang yang menyandang gelar Datuk bisa melakukannya. Beberapa acara sesuai dengan siklus kehidupan manusia sejak dari kelahiran sampai kematian, terutama yang menyangkut kehidupan seorang penghulu, di Minangkabau upacaranya juga harus dilakukan oleh para penghulu. Akan sangat janggal rasanya jika di dalam upacara semacam itu ada penghulu yang tidak mampu melakukan pembicaraan dalam gaya pasambahan. Sehingga lahir idiom lama yang mengatakan Indak panghulu manulak sambah.
Apalagi dalam upacara pengangkatan seorang atau sejumlah penghulu baru yang sering dilakukan secara istimewa di kampung-kampung, maka kemahiran seorang Datuk dalam sambah-manyambah akan sangat teruji di gelanggang tsb. Malah sering kali gelanggang semacam itu menjadi ajang bagi para penghulu untuk saling memperagakan kemahiran masing-masing.
Untuk acara adat batagak penghulu inilah, tata cara sambah-manyambah memang diharuskan untuk mengikuti ketentuan-ketentuan sesuai dengan peraturan yang berlaku menurut luhak adat masing-masing. Dan sering bagi orang awam nampak panjang bertele-tele, karena tidak mengerti peraturannya.
Setiap pembicaraan harus disampaikan kepada sejumlah orang yang menerima pembicaraan harus selalu mengulangi pembicaraan orang itu, setiap menyampaikannya kepada orang lain lagi. Dan pemulangan jawabannya pun harus melalui siklus yang sama sehingga sampai kembali kepada pembicara pertama. Inilah yang didalam pepatah-petitih disebut :
Lamak kato dipakatokan,Lamak samba dikunyah-kunyah,Bakato indak sadang sapatah,Bajalan indak sadang salangkah
Pasambahan Pangka Batang. Ini adalah gaya bahasa pasambahan yang dapat dilakukan oleh siapa saja. Dan bisa ditampilkan dalam acara-acara lain yang bukan acara batagak penghulu misalnya seperti dalam acara perkawinan. Menurut kebiasaan yang berlaku sejak dulu di Minangkabau, kewajiban untuk melakukan sambah-manyambah dalam acara perkawinan tidaklah terpikul kepada Datuk-datuk tetapi merupakan kewajibana para menantu atau orang-orang semenda baru yang ada di atas rumah. Mereka inilah yang lazim diberi tugas untuk menjemput calon mempelai pria, dan akrena itu pulalah mereka harus menguasai tata tertib berbicara menurut alur persembahan walaupun secara sederhana. Tata cara yang sederhana inilah yang didalam kategori sambah manyambah disebut pangka batang. Artinya menguasai bagian-bagian yang pokok saja.
Pengertian pokok disini, adalah dalam cara menyampaikan maksud dan tujuan. Pembicara tidaklah perlu harus mengungkapkan tambo sejarah nagari, hukum adat dll yang sama sekali tidak ada hubungannya dengan maksud dan tujuan pembicaraan. Tetapi kalimat-kalimat yang menyiratkan keramahan, tata tertib, basa basi dan sopan santun, tetap harus dipertahankan sesuai dengan esensi adat sambah manyambah itu sendiri.
(Sumber : Tata Cara Perkawinan Adat Minangkabau)
3. Penghulu
3. P E N G H U L U
1. Arti Penghulu
Setelah nenek moyang orang Minang mempunyai tempat tinggal yang tetap maka untuk menjamin kerukunan, ketertiban, perdamaian dan kesejahteraan keluarga, dibentuklah semacam pemerintahan suku.
Tiap suku dikepalai oleh seorang Penghulu Suku.
Hulu artinya pangkal, asal-usul, kepala atau pemimpin. Hulu sungai artinya pangkal atau asal sungai yaitu tempat dimana sungai itu berasal atau berpangkal. Kalang hulu artinya penggalang atau pengganjal kepala atau bantal.
Penghulu berarti Kepala Kaum
Semua Penghulu mempunyai gelar DatukDatuk artinya " Orang berilmu - orang pandai yang di Tuakan" atau Datu-datu.
Kedudukan penghulu dalam tiap nagari tidak sama. Ada nagari yang penghulunya mempunyai kedudukan yang setingkat dan sederajat. Dalam pepatah adat disebut "duduk sama rendah tegak sama tinggi". Penghulu yang setingkat dan sederajat ini adalah di nagari yang menganut "laras" (aliran) Bodi-Caniago dari keturunan Datuk Perpatih nan Sabatang. Sebaliknya ada pula nagari yang berkedudukan penghulunyu bertingkat-tingkat yang didalam adat disebut "Berjenjang naik bertangga turun", yaitu para Penghulu yang menganut laras (aliran) Koto - Piliang dari ajaran Datuk Katumanggungan.
Balai Adat dari kedua laras ini juga berbeda. Balai Adat dari laras Bodi Caniago dari ajaran Datuk Perpatih nan Sabatang lantainya rata, melambangkan "duduk sama rendah - tegak sama tinggi".
Balai Adat dari laras Koto Piliang yang menganut ajaran Datuk Katumanggungan lantainya mempunyai anjuang di kiri kanan, yang melambangkan kedudukan Penghulu yang tidak sama, tetapi "berjenjang naik - batanggo turun".
Kendatipun kedudukan para penghulu berbeda di kedua ajaran adat itu, namun keduanya menganut paham demokrasi. Demokrasi itu tidak ditunjukkan pada cara duduknya dalam persidangan, dan juga bentuk balai adatnya yang memang berbeda, tetapi demokrasinya ditentukan pada sistem "musyawarah - mufakat". Kedua sistem itu menempuh cara yang sama dalam mengambil keputusan yaitu dengan cara "musyawarah untuk mufakat".
2. Kedudukan dan peranan penghulu
Di dalam pepatah adat disebut;
Luhak BapanghuluRantau barajo
Hal ini berarti bahwa penguasa tertinggi pengaturan masyarakat adat di daerah Luhak nan tigo - pertama Luhak Tanah Datar - kedua Luhak Agam dan ketiga Luhak 50-Koto berada ditangan para penghulu. Jadi penghulu pemegang peranan utama dalam kehidupan masyarakat Adat.
Pepatah merumuskan kedudukan dan peranan penghulu itu sebagai berikut;
Nan tinggi tampak jauh Yang tinggi tampak jauhNan gadang jolong basuo Yang besar mula ketemuKayu gadang di tangah padang Pohon besar di tengah padangTampek balinduang kapanasan Tempat berlindung kepanasanTampek bataduah kahujanan Tempat berteduh kehujananUreknyo tampek baselo Uratnya tempat bersilaBatangnyo tampek basanda Batangnya tempat bersandarPai tampek batanyo Pergi tempat bertanyaPulang tampek babarito Pulang tempat berberitaBiang nan akan menambuakkan Biang yang akan menembusGantiang nan akan mamutuihkan Genting yang akan memutusTampek mangadu sasak sampik Tempat mengadu kesulitan
Dengan ringkas dapat dirumuskan kedudukan dan peranan Penghulu sebagai berikut;
Sebagai pemimpin yang diangkat bersama oleh kaumnya sesuai rumusan adat Jadi Penghulu sakato kaumJadi Rajo sakato alam Sebagai pelindung bagi sesama anggota kaumnya.Sebagai Hakim yang memutuskan semua masalah dan silang sengketa dalam kaumnya.Sebagai tumpuan harapan dalam mengatasi kehidupan kaumnya.
3. Syarat-syarat untuk menjadi Penghulu
Baik buruknya keadaan masyarakat adat akan ditentukan oleh baik buruknya Penghulu dalam menjalankan keempat fungsi utamanya diatas.
Pepatah menyebutkan sebagai berikut;
Elok Nagari dek PenghuluElok tapian dek nan mudoElok musajik dek TuankuElok rumah dek Bundo Kanduang.
Oleh karena Penghulu mempunyai tugas yang berat dan peranan yang sangat menentukan dalam masyarakat adat, maka dengan sendirinya yang harus diangkat jadi penghulu itu, adalah orang yang mempunyai "bobot" atas sifat-sifat tertentu.
Perlu dicatat disini bahwa Adat Minang secara mutlak menetapkan bahwa penghulu hanya pria dan tidak boleh wanita. Disini jelas dan mutlak pula bahwa sistem kekerabatan matrilinial tidak dapat diartikan dengan "wanita yang berkuasa". Satu dan lain karena keempat unsur utama seorang penghulu seperti sebagai Pemimpin, Pelindung, Hakim dan Pengayom yang merupakan unsur-unsur yang sangat dominan dalam menentukan "kekuasaan", berada di tangan pria yaitu di tangan penghulu yang justru mutlak seorang pria itu.
Pepatah adat menetapkan sifat-sifat orang yang disyaratkan menjadi penghulu itu adalah sebagai berikut;
Nan cadiak candokio Yang cerdik cendekianan arif bijaksano Yang arif bijaksananan tau diunak kamanyangkuik Yang tahu duri yang akan menyangkutnan tau dirantiang kamancucuak Yang tahu ranting yang akan menusukTau diangin nan basiru Tahu angin yang melingkarTau di ombak nan badabua Tahu ombak yang berdeburTau dikarang nan baungguak Tahu karang yang beronggokTau dipasang turun naiak Tahu pasang turun naikTau jo ereng gendeng Tahu sindiran tingkah polahTau dibayang kato sampai Tahu bayangan ujud kataAlun bakilek lah bakalam Belum dijelaskan sudah pahamSakilek ikan dalam aie Selintas ikan dalam airJaleh jantan batinyo Jelas sudah jantan betinanyaTau di cupak nan duo Tahu dengan undang-undang yang dua puluhPaham di Limbago nan sapuluah. Tahu dengan lembaga hukum yang sepuluh.
Dapat disimpulkan terdapat 4 (empat) syarat utama untuk dapat diangkat menjadi Penghulu diluar persyaratan keturunan sebagai berikut;
Berpengetahuan dan mempunyai kadar intelektual yang tinggi atau cerdik pandai.Orang yang arif bijaksana.Paham akan landasan pikir dan Hukum Adat Minang.Hanya kaum pria yang akil-balig, berakal sehat.
4. Sifat-Sifat Penghulu
Pakaian penghulu melambangkan sifat-sifat dan watak yang harus dipunyai oleh seorang penghulu. Arti kiasan yang dilambangkan oleh pakaian itu digambarkan oleh Dt. Bandaro dalam bukunya "Tambo Alam Minangkabau" dalam bahasa Minang sebagai berikut;
a. Destar
Niniek mamak di Minangkabau Niniek mamak di MinangkabauNan badeta panjang bakaruik Yang berdestar panjang berkerutBayangan isi dalam kuliek Bayangan isi dalam kulitPanjang tak dapek kito ukue Panjang tak dapat kita ukurLeba tak dapek kito belai Lebar tak dapat kita sambungKok panjangnyo pandindiang korong Panjangnya pendinding kampungLeba pandukuang anak kamanakan Lebarnya pendukung anak kemenakanHamparan di rumah tanggo Hamparan di rumah tanggaParaok gonjong nan ampek Penutup gonjong yang empatTiok liku aka manjala Tiap liku akal menjalarTiok katuak ba undang undang Tiap lipatan berundang-undangDalam karuik budi marangkak Dalam kerutan budi merangkakTambuak dek paham tiok lipek Tembus karena paham tiap lipatanManjala masuak nagari. Menjalar masuk negeri.
b. Baju
Babaju hitam gadang langan Berbaju hitam berlengan lebarLangan tasenseng tak pambangih Lengan tersingsing tak pemarahPangipeh angek naknyo dingin Pengipas panas supaya dinginPambuang nan bungkuak sarueh Pembuang yang bungkuk seruasSiba batanti timba baliek Pinggiran berenda timbal balikGadang barapik jo nan ketek Besar berimpit dengan yang kecilTando rang gadang bapangiriang Tandanya orang besar berpengiringTatutuik jahit pangka langan Tertutup jahitan pangkal lenganTando membuhue tak mambuku Tandanya membuhul tak mengesanTando mauleh tak mangasan Tandanya menyambung tak kentaraLauik tatampuah tak berombak Laut ditempuh tak berombakPadang ditampuah tak barangin Padang ditempuh tak beranginTakilek ikan dalam aie Terlintas ikan dalam airLah jaleh jantan batinonyo Sudah jelas jantan betinanya.Lihienyo lapeh tak bakatuak Lehernya lepas tak berkatupTando pangulu padangnyo lapang Tandanya penghulu padangnya lapangalamnyo leba alamnya lebar (lapang dada/sabar)Indak basaku kiri jo kanan Tidak bersaku kiri dan kananTandonyo indak pangguntiang Tandanya bukan penggunting dalam
dalam lipatan lipatanIndak panuhuak kawan seiriang Bukan penohok kawan seiring.
c. Sarawa
Basarawa hitam ketek kaki Bercelana hitam kecil kakikapanuruik alue nan luruih untuk menurut alur yang luruspanampuah jalan nan pasa untuk menempuh jalan yang wajarka dalam korong jo kampuang ke dalam korong kampungsarato koto jo nagari serta koto dan negeriLangkah salasai baukuran Langkah bebas berukuranmartabat nan anam membatasi martabat yang enam membatasimurah jo maha ditampeknyo murah dan mahal ditempatnyaba ijo mako bakato di eja baru berkataba tolam mako bajalan di agak baru berjalan
d. Kain Sarung
Sarung sabidang ateh lutuik Sarung sebidang atas lututpatuik senteng tak bulieh dalam Pantasnya pendek tak boleh panjangpatuik dalam tak bulieh senteng Pantasnya panjang tak boleh pendekkarajo hati kasamonyo Kerja hati semuanyamungkin jo patuik baukuran Mungkin dan patut berukuranmurah jo maha ditampeknyo Murah dan mahal ditempatnya
e. Karih
Sanjatonyo karih kabasaran Senjatanya keris kebesaransamping jo cawek nan tampeknyo sesamping dan cawat yang tempatnyasisiknyo tanaman tabu sisiknya tanaman tebulataknyo condong ka kida letaknya miring ke kiridikesong mako dicabuik dikisar baru dicabutGembonyo tumpuan puntiang Hulunya tumpuan puntiangTunangannyo ulu kayu kamat Tunangannya hulu kayu kamatbamato baliak batimba bermata timbal baliktajamnyo bukan alang kapalang tajamnya bukan alang kepalangtajamnyo pantang melukoi tajamnya pantang melukaimamutuih rambuik diambuihkan putus rambut ditiupkan
Ipuahnyo turun dari langit Racunnya turun dari langitbisonyo pantang katawaran bisanya pantang berpenawarjajak ditikam mati juo jejak ditikam mati jugaka palawan dayo rang aluih untuk melawan kekuatan gaibka palunak musuh di badan untuk pelunak musuh didiribagai papatah gurindam adat bagai pepatah gurindam adatKarih sampono Ganjo Erah Keris sempurna Ganja Erahlahie bathin pamaga diri Lahir batin pemagar diriKok patah lidah bakeh Allah Kalau patah lidah kepada Tuhanpatah karih bakeh mati Patah keris berarti mati
f. Tungkek
Pamenannyo tungkek kayu kamat Mainannya tongkat kayu kamatujuang tanduk kapalo perak Ujung tanduk kepala perakpanungkek adat jo pusako penopang adat dan pusakaGantang nak tagak jo lanjuangnyo Gantang supaya tegak dengan bubungannyasumpik nan tagak jo isinyo karung supaya tegak dengan isinya
5. Peringatan bagi Penghulu
Falsafah pakaian rang penghulu Falsafah pakaian bagi penghuluDi dalam luhak ranah Minang Di dalam luhak Ranah MinangKalau ambalau meratak ulu Kalau ambalau meretak huluPuntiang tangga mato tabuang Tangkai lepas mata terbuangKayu kuliek mengandung aie Kayu kulit mengandung airLapuknyo sampai kapanguba Lapuknya sampai kepenguba (inti)Binaso tareh nan di dalam Binasa teras yang di dalamKalau penghulu berpaham caie Kalau penghulu berpaham cairJadi sampik alam nan leba Jadi sempit alam yang lebarDunia akhirat badan tabanam Dunia akhirat badan terbenamElok nagari dek pangulu Elok negeri karena penghuluRancak tapian dek nan mudo Cantik tepian karena yang mudaKalau kito mamacik ulu Kalau kita memegang huluPandai menjago puntiang jo mato Pandai menjaga tangkai dan mataPetitih pamenan andai Petitih mainan andaiGurindam pamenan kato Gurindam mainan kataJadi pangulu kalau tak pandai Jadi penghulu kalau tak pandaiCaia nagari kampung binaso Hancur negeri kampung binasaAdat ampek nagari ampek Adat empat negeri empatUndangnyo ampek kito pakai Undangnya empat kita pakaiCupak jo gantang kok indak dapek Cupak dan gantang kalau tak dapatLuhak nan tigo tabangkalai Luhak yang tiga terbengkalaiPayakumbuah baladang kunik Payakumbuh berladang kunirDibao urang ka Kuantan Dibawa orang ke KuantanBapantang kuning dek kunik Pantang kuning karena kunirTak namuah lamak dek santan Tak ingin enak karena santan
1. Arti Penghulu
Setelah nenek moyang orang Minang mempunyai tempat tinggal yang tetap maka untuk menjamin kerukunan, ketertiban, perdamaian dan kesejahteraan keluarga, dibentuklah semacam pemerintahan suku.
Tiap suku dikepalai oleh seorang Penghulu Suku.
Hulu artinya pangkal, asal-usul, kepala atau pemimpin. Hulu sungai artinya pangkal atau asal sungai yaitu tempat dimana sungai itu berasal atau berpangkal. Kalang hulu artinya penggalang atau pengganjal kepala atau bantal.
Penghulu berarti Kepala Kaum
Semua Penghulu mempunyai gelar DatukDatuk artinya " Orang berilmu - orang pandai yang di Tuakan" atau Datu-datu.
Kedudukan penghulu dalam tiap nagari tidak sama. Ada nagari yang penghulunya mempunyai kedudukan yang setingkat dan sederajat. Dalam pepatah adat disebut "duduk sama rendah tegak sama tinggi". Penghulu yang setingkat dan sederajat ini adalah di nagari yang menganut "laras" (aliran) Bodi-Caniago dari keturunan Datuk Perpatih nan Sabatang. Sebaliknya ada pula nagari yang berkedudukan penghulunyu bertingkat-tingkat yang didalam adat disebut "Berjenjang naik bertangga turun", yaitu para Penghulu yang menganut laras (aliran) Koto - Piliang dari ajaran Datuk Katumanggungan.
Balai Adat dari kedua laras ini juga berbeda. Balai Adat dari laras Bodi Caniago dari ajaran Datuk Perpatih nan Sabatang lantainya rata, melambangkan "duduk sama rendah - tegak sama tinggi".
Balai Adat dari laras Koto Piliang yang menganut ajaran Datuk Katumanggungan lantainya mempunyai anjuang di kiri kanan, yang melambangkan kedudukan Penghulu yang tidak sama, tetapi "berjenjang naik - batanggo turun".
Kendatipun kedudukan para penghulu berbeda di kedua ajaran adat itu, namun keduanya menganut paham demokrasi. Demokrasi itu tidak ditunjukkan pada cara duduknya dalam persidangan, dan juga bentuk balai adatnya yang memang berbeda, tetapi demokrasinya ditentukan pada sistem "musyawarah - mufakat". Kedua sistem itu menempuh cara yang sama dalam mengambil keputusan yaitu dengan cara "musyawarah untuk mufakat".
2. Kedudukan dan peranan penghulu
Di dalam pepatah adat disebut;
Luhak BapanghuluRantau barajo
Hal ini berarti bahwa penguasa tertinggi pengaturan masyarakat adat di daerah Luhak nan tigo - pertama Luhak Tanah Datar - kedua Luhak Agam dan ketiga Luhak 50-Koto berada ditangan para penghulu. Jadi penghulu pemegang peranan utama dalam kehidupan masyarakat Adat.
Pepatah merumuskan kedudukan dan peranan penghulu itu sebagai berikut;
Nan tinggi tampak jauh Yang tinggi tampak jauhNan gadang jolong basuo Yang besar mula ketemuKayu gadang di tangah padang Pohon besar di tengah padangTampek balinduang kapanasan Tempat berlindung kepanasanTampek bataduah kahujanan Tempat berteduh kehujananUreknyo tampek baselo Uratnya tempat bersilaBatangnyo tampek basanda Batangnya tempat bersandarPai tampek batanyo Pergi tempat bertanyaPulang tampek babarito Pulang tempat berberitaBiang nan akan menambuakkan Biang yang akan menembusGantiang nan akan mamutuihkan Genting yang akan memutusTampek mangadu sasak sampik Tempat mengadu kesulitan
Dengan ringkas dapat dirumuskan kedudukan dan peranan Penghulu sebagai berikut;
Sebagai pemimpin yang diangkat bersama oleh kaumnya sesuai rumusan adat Jadi Penghulu sakato kaumJadi Rajo sakato alam Sebagai pelindung bagi sesama anggota kaumnya.Sebagai Hakim yang memutuskan semua masalah dan silang sengketa dalam kaumnya.Sebagai tumpuan harapan dalam mengatasi kehidupan kaumnya.
3. Syarat-syarat untuk menjadi Penghulu
Baik buruknya keadaan masyarakat adat akan ditentukan oleh baik buruknya Penghulu dalam menjalankan keempat fungsi utamanya diatas.
Pepatah menyebutkan sebagai berikut;
Elok Nagari dek PenghuluElok tapian dek nan mudoElok musajik dek TuankuElok rumah dek Bundo Kanduang.
Oleh karena Penghulu mempunyai tugas yang berat dan peranan yang sangat menentukan dalam masyarakat adat, maka dengan sendirinya yang harus diangkat jadi penghulu itu, adalah orang yang mempunyai "bobot" atas sifat-sifat tertentu.
Perlu dicatat disini bahwa Adat Minang secara mutlak menetapkan bahwa penghulu hanya pria dan tidak boleh wanita. Disini jelas dan mutlak pula bahwa sistem kekerabatan matrilinial tidak dapat diartikan dengan "wanita yang berkuasa". Satu dan lain karena keempat unsur utama seorang penghulu seperti sebagai Pemimpin, Pelindung, Hakim dan Pengayom yang merupakan unsur-unsur yang sangat dominan dalam menentukan "kekuasaan", berada di tangan pria yaitu di tangan penghulu yang justru mutlak seorang pria itu.
Pepatah adat menetapkan sifat-sifat orang yang disyaratkan menjadi penghulu itu adalah sebagai berikut;
Nan cadiak candokio Yang cerdik cendekianan arif bijaksano Yang arif bijaksananan tau diunak kamanyangkuik Yang tahu duri yang akan menyangkutnan tau dirantiang kamancucuak Yang tahu ranting yang akan menusukTau diangin nan basiru Tahu angin yang melingkarTau di ombak nan badabua Tahu ombak yang berdeburTau dikarang nan baungguak Tahu karang yang beronggokTau dipasang turun naiak Tahu pasang turun naikTau jo ereng gendeng Tahu sindiran tingkah polahTau dibayang kato sampai Tahu bayangan ujud kataAlun bakilek lah bakalam Belum dijelaskan sudah pahamSakilek ikan dalam aie Selintas ikan dalam airJaleh jantan batinyo Jelas sudah jantan betinanyaTau di cupak nan duo Tahu dengan undang-undang yang dua puluhPaham di Limbago nan sapuluah. Tahu dengan lembaga hukum yang sepuluh.
Dapat disimpulkan terdapat 4 (empat) syarat utama untuk dapat diangkat menjadi Penghulu diluar persyaratan keturunan sebagai berikut;
Berpengetahuan dan mempunyai kadar intelektual yang tinggi atau cerdik pandai.Orang yang arif bijaksana.Paham akan landasan pikir dan Hukum Adat Minang.Hanya kaum pria yang akil-balig, berakal sehat.
4. Sifat-Sifat Penghulu
Pakaian penghulu melambangkan sifat-sifat dan watak yang harus dipunyai oleh seorang penghulu. Arti kiasan yang dilambangkan oleh pakaian itu digambarkan oleh Dt. Bandaro dalam bukunya "Tambo Alam Minangkabau" dalam bahasa Minang sebagai berikut;
a. Destar
Niniek mamak di Minangkabau Niniek mamak di MinangkabauNan badeta panjang bakaruik Yang berdestar panjang berkerutBayangan isi dalam kuliek Bayangan isi dalam kulitPanjang tak dapek kito ukue Panjang tak dapat kita ukurLeba tak dapek kito belai Lebar tak dapat kita sambungKok panjangnyo pandindiang korong Panjangnya pendinding kampungLeba pandukuang anak kamanakan Lebarnya pendukung anak kemenakanHamparan di rumah tanggo Hamparan di rumah tanggaParaok gonjong nan ampek Penutup gonjong yang empatTiok liku aka manjala Tiap liku akal menjalarTiok katuak ba undang undang Tiap lipatan berundang-undangDalam karuik budi marangkak Dalam kerutan budi merangkakTambuak dek paham tiok lipek Tembus karena paham tiap lipatanManjala masuak nagari. Menjalar masuk negeri.
b. Baju
Babaju hitam gadang langan Berbaju hitam berlengan lebarLangan tasenseng tak pambangih Lengan tersingsing tak pemarahPangipeh angek naknyo dingin Pengipas panas supaya dinginPambuang nan bungkuak sarueh Pembuang yang bungkuk seruasSiba batanti timba baliek Pinggiran berenda timbal balikGadang barapik jo nan ketek Besar berimpit dengan yang kecilTando rang gadang bapangiriang Tandanya orang besar berpengiringTatutuik jahit pangka langan Tertutup jahitan pangkal lenganTando membuhue tak mambuku Tandanya membuhul tak mengesanTando mauleh tak mangasan Tandanya menyambung tak kentaraLauik tatampuah tak berombak Laut ditempuh tak berombakPadang ditampuah tak barangin Padang ditempuh tak beranginTakilek ikan dalam aie Terlintas ikan dalam airLah jaleh jantan batinonyo Sudah jelas jantan betinanya.Lihienyo lapeh tak bakatuak Lehernya lepas tak berkatupTando pangulu padangnyo lapang Tandanya penghulu padangnya lapangalamnyo leba alamnya lebar (lapang dada/sabar)Indak basaku kiri jo kanan Tidak bersaku kiri dan kananTandonyo indak pangguntiang Tandanya bukan penggunting dalam
dalam lipatan lipatanIndak panuhuak kawan seiriang Bukan penohok kawan seiring.
c. Sarawa
Basarawa hitam ketek kaki Bercelana hitam kecil kakikapanuruik alue nan luruih untuk menurut alur yang luruspanampuah jalan nan pasa untuk menempuh jalan yang wajarka dalam korong jo kampuang ke dalam korong kampungsarato koto jo nagari serta koto dan negeriLangkah salasai baukuran Langkah bebas berukuranmartabat nan anam membatasi martabat yang enam membatasimurah jo maha ditampeknyo murah dan mahal ditempatnyaba ijo mako bakato di eja baru berkataba tolam mako bajalan di agak baru berjalan
d. Kain Sarung
Sarung sabidang ateh lutuik Sarung sebidang atas lututpatuik senteng tak bulieh dalam Pantasnya pendek tak boleh panjangpatuik dalam tak bulieh senteng Pantasnya panjang tak boleh pendekkarajo hati kasamonyo Kerja hati semuanyamungkin jo patuik baukuran Mungkin dan patut berukuranmurah jo maha ditampeknyo Murah dan mahal ditempatnya
e. Karih
Sanjatonyo karih kabasaran Senjatanya keris kebesaransamping jo cawek nan tampeknyo sesamping dan cawat yang tempatnyasisiknyo tanaman tabu sisiknya tanaman tebulataknyo condong ka kida letaknya miring ke kiridikesong mako dicabuik dikisar baru dicabutGembonyo tumpuan puntiang Hulunya tumpuan puntiangTunangannyo ulu kayu kamat Tunangannya hulu kayu kamatbamato baliak batimba bermata timbal baliktajamnyo bukan alang kapalang tajamnya bukan alang kepalangtajamnyo pantang melukoi tajamnya pantang melukaimamutuih rambuik diambuihkan putus rambut ditiupkan
Ipuahnyo turun dari langit Racunnya turun dari langitbisonyo pantang katawaran bisanya pantang berpenawarjajak ditikam mati juo jejak ditikam mati jugaka palawan dayo rang aluih untuk melawan kekuatan gaibka palunak musuh di badan untuk pelunak musuh didiribagai papatah gurindam adat bagai pepatah gurindam adatKarih sampono Ganjo Erah Keris sempurna Ganja Erahlahie bathin pamaga diri Lahir batin pemagar diriKok patah lidah bakeh Allah Kalau patah lidah kepada Tuhanpatah karih bakeh mati Patah keris berarti mati
f. Tungkek
Pamenannyo tungkek kayu kamat Mainannya tongkat kayu kamatujuang tanduk kapalo perak Ujung tanduk kepala perakpanungkek adat jo pusako penopang adat dan pusakaGantang nak tagak jo lanjuangnyo Gantang supaya tegak dengan bubungannyasumpik nan tagak jo isinyo karung supaya tegak dengan isinya
5. Peringatan bagi Penghulu
Falsafah pakaian rang penghulu Falsafah pakaian bagi penghuluDi dalam luhak ranah Minang Di dalam luhak Ranah MinangKalau ambalau meratak ulu Kalau ambalau meretak huluPuntiang tangga mato tabuang Tangkai lepas mata terbuangKayu kuliek mengandung aie Kayu kulit mengandung airLapuknyo sampai kapanguba Lapuknya sampai kepenguba (inti)Binaso tareh nan di dalam Binasa teras yang di dalamKalau penghulu berpaham caie Kalau penghulu berpaham cairJadi sampik alam nan leba Jadi sempit alam yang lebarDunia akhirat badan tabanam Dunia akhirat badan terbenamElok nagari dek pangulu Elok negeri karena penghuluRancak tapian dek nan mudo Cantik tepian karena yang mudaKalau kito mamacik ulu Kalau kita memegang huluPandai menjago puntiang jo mato Pandai menjaga tangkai dan mataPetitih pamenan andai Petitih mainan andaiGurindam pamenan kato Gurindam mainan kataJadi pangulu kalau tak pandai Jadi penghulu kalau tak pandaiCaia nagari kampung binaso Hancur negeri kampung binasaAdat ampek nagari ampek Adat empat negeri empatUndangnyo ampek kito pakai Undangnya empat kita pakaiCupak jo gantang kok indak dapek Cupak dan gantang kalau tak dapatLuhak nan tigo tabangkalai Luhak yang tiga terbengkalaiPayakumbuah baladang kunik Payakumbuh berladang kunirDibao urang ka Kuantan Dibawa orang ke KuantanBapantang kuning dek kunik Pantang kuning karena kunirTak namuah lamak dek santan Tak ingin enak karena santan
2. Upacara Adat
2. Upacara Adat
1. Upacara Sepanjang Kehidupan Manusia
Upacara sepanjang kehidupan manusia ini dapat pula dibedakan sbb:
Lahir yang didahului oleh upacara kehamilan
Upacara Karek Pusek (Kerat pusat)
Upacara Turun Mandi dan Kekah (Akekah)
Upacara Sunat Rasul
Mengaji di Surau
Tamat Kaji (khatam Qur'an)
Setelah melalui upacara-upacara pada masa kehamilan dan sampai lahir dan seterusnya maka dilanjutkan dengan acara-acara semasa remaja dan terutama sekali bagi anak laki-laki. Pada masa remaja ada pula acara-acara yang dilakukan berkaitan dengan ilmu pengetahuan adat dan agama. Upacara-upacara semasa remaja ini adalah sbb:
Manjalang guru (menemui guru) untuk belajar. Orang tua atau mamak menemui guru tempat anak kemenakannya menuntut ilmu. Apakah guru dibidang agama atau adat. Anak atau keponakannya diserahkan untuk dididik sampai memperoleh ilmu pengetahuan yang diingini.
Balimau. Biasanya murid yang dididik mandi berlimau dibawah bimbingan gurunya. Upacara ini sebagai perlambang bahwa anak didiknya dibersihkan lahirnya terlebih dahulu kemudian diisi batinnya dengan ilmu pengetahuan.
Batutue (bertutur) atau bercerita. Anak didik mendapatkan pengetahuan dengan cara gurunya bercerita. Di dalam cerita terdapat pengajaran adat dan agama.
Mengaji adat istiadat. Didalam pelajaran ini anak didik mendapat pengetahuan yang berkaitan dengan Tambo Alam Minangkabau dan Tambo Adat.
Baraja tari sewa dan pancak silek (belajar tari sewa dan pencak silat). Untuk keterampilan dan ilmu beladiri maka anak didik berguru yang sudah kenamaan.
Mangaji halam jo haram (mengaji halal dengan haram). Pengetahuan ini berkaitan dengan pengajaran agama.
Mengaji nan kuriek kundi nan merah sago, nan baiek budi nan indah baso (mengaji yang kurik kundi nan merah sago, yang baik budi nan indah baso), pengajaran yang berkaitan dengan adat istiadat dan moral.
Setelah dewasa maka upacara selanjutnya adalah upacara perkawinan. Pada umumnya masyarakat Minangkabau beragama Islam, oleh karena itu dalam masalah nikah kawin sudah tentu dilakukan sepanjang Syarak. Dalam pelaksanaan nikah kawin dikatakan "nikah jo parampuan, kawin dengan kaluarga". Dengan pengertian ijab kabul dengan perantaraan walinya sepanjang Syarak, namun pada hakekatnya mempertemukan dua keluarga besar, dua kaum, malahan antara keluarga nagari. Pada masa dahulu perkawinan harus didukung oleh kedua keluarga dan tidak membiarkan atas kemauan muda-mudi saja. Dalam proses perkawinan acara yang dilakukan adalah sbb:
Pinang-maminang (pinang-meminang)
Mambuek janji (membuat janji)
Anta ameh (antar emas), timbang tando (timbang tando)
Nikah
Jampuik anta (jemput antar)
Manjalang, manjanguak kandang (mengunjungi, menjenguk kandang). Maksudnya keluarga laki-laki datang ke rumah calon istri anaknya
Baganyie (merajuk)
Bamadu (bermadu)
Dalam acara perkawinan setiap pertemuan antara keluarga perempuan dengan keluarga laki-laki tidak ketinggalan pidato pasambahan secara adat.
Akhir kehidupan di dunia adalah kematian. Pada upacara yang berkaitan dengan kematian tidak terlepas dari upacara yang berkaitan dengan adat dan yang bernafaskan keagamaan. Acara-acara yang diadakan sebelum dan sesudah kematian adalah sbb:
Sakik basilau, mati bajanguak (sakit dilihat, mati dijenguk)
Anta kapan dari bako (antar kafan dari bako)
Cabiek kapan, mandi maik (mencabik kafan dan memandikan mayat)
Kacang pali (mengantarkan jenazah kek kuburan)
Doa talakin panjang di kuburan
Mengaji tiga hari dan memperingati dengan acara hari ketiga, ketujuh hari, keempat puluh hari, seratus hari dan malahan yang keseribu hari. Pada masa dahulu acara-acara ini memerlukan biaya yang besar.
2. Upacara Yang Berkaitan dengan Perekonomian
Upacara yang berkaitan dengan perekonomian seperti turun kesawah, membuka perladangan baru yang dilakukan dengan upacara-upacara adat. Untuk turun kesawah secara serentak juga diatur oleh adat. Para pemangku adat mengadakan pertemuan terlebih dahulu, bila diadakan gotong royong memperbaiki tali bandar dan turun kesawah. Untuk menyatakan rasa syukur atas rahmat yang diperoleh dari hasil pertanian biasanya diadakan upacara-upacara yang bersifat keluarga maupun melibatkan masyarakat yang ada dalam kampung. Pada masa dahulu diadakan pula upacara maulu tahun (hulu tahun), maksudnya pemotongan padi yang pertama sebelum panen keseluruhan. Diadakan upacara selamatan dengan memakan beras hulu tahun ini. Upacara dihadiri oleh Ulama dan Ninik mamak serta sanak keluarga. Adapun acara yang berkaitan dengan turun kesawah ini adalah sbb:
Gotong royong membersihkan tali bandar
Turun baniah, maksudnya menyemaikan benih
Turun kasawah (turun ke sawah)
Batanam (bertanam)
Anta nasi (megantarkan nasi)
Basiang padi (membersihkan tanaman yang mengganggu padi)
Tolak bala (upacara untuk menolak segala malapetaka yang mungkin menggagalkan pertanian)
Manggaro buruang (mengusir burung)
Manuai (menuai), manyabik padi (potong padi)
Makan ulu tahun (makan hulu pertahunan)
Tungkuk bubuang (telungkup bubung)
Zakat.
3. Upacara Selamatan
Dalam kehidupan sehari-hari di tengah masyarakat banyak ditemui upacara selamatan. Bila diperhatikan ada yang sudah diwarisi sebelum Islam masuk ke Minangkabau. Doa selamat ini untuk menyatakan syukur atau doa selamat agar mendapat lindungan dari Tuhan Yang Maha Esa. Beberapa upacara yang termasuk doa selamatan ini seperti :
Upacara selamatan atas kelahiran, turun mandi, bacukua (bercukur), atau memotong rambut pertama kali.
Upacara selamatan dari suatu niat atau melepas nazar. Sebagai contoh setelah sekian lama sakit dan si sakit kemudian atau keluarganya berniat bila seandainya sembuh akan dipanggil orang siak dan sanak famili untuk menghadiri upacara selamatan.
Selamat pekerjaan selesai.
Selamat pulang pergi naik haji
Selamat lepas dari suatu bahaya
Selamat hari raya
Selamat kusuik salasai, karuah manjadi janiah (selamat kusut selesai, keruh menjadi jernih). Upacara selamat diadakan karena adanya penyelesaian mengenai suatu permasalahan baik yang menyangkut dengan masalah kekeluargaan maupun yang menyangkut dengan adat.
Maulud nabi.
dll
Dengan banyaknya upacara yang dilakukan dalam masyarakat Minangkabau secara tidak langsung juga sebagai sarana komunikasi dalam kehidupan bermasyarakat dan juga dalam alih generasi yang berkaitan dengan adat dan agama di Minangkabau.
1. Upacara Sepanjang Kehidupan Manusia
Upacara sepanjang kehidupan manusia ini dapat pula dibedakan sbb:
Lahir yang didahului oleh upacara kehamilan
Upacara Karek Pusek (Kerat pusat)
Upacara Turun Mandi dan Kekah (Akekah)
Upacara Sunat Rasul
Mengaji di Surau
Tamat Kaji (khatam Qur'an)
Setelah melalui upacara-upacara pada masa kehamilan dan sampai lahir dan seterusnya maka dilanjutkan dengan acara-acara semasa remaja dan terutama sekali bagi anak laki-laki. Pada masa remaja ada pula acara-acara yang dilakukan berkaitan dengan ilmu pengetahuan adat dan agama. Upacara-upacara semasa remaja ini adalah sbb:
Manjalang guru (menemui guru) untuk belajar. Orang tua atau mamak menemui guru tempat anak kemenakannya menuntut ilmu. Apakah guru dibidang agama atau adat. Anak atau keponakannya diserahkan untuk dididik sampai memperoleh ilmu pengetahuan yang diingini.
Balimau. Biasanya murid yang dididik mandi berlimau dibawah bimbingan gurunya. Upacara ini sebagai perlambang bahwa anak didiknya dibersihkan lahirnya terlebih dahulu kemudian diisi batinnya dengan ilmu pengetahuan.
Batutue (bertutur) atau bercerita. Anak didik mendapatkan pengetahuan dengan cara gurunya bercerita. Di dalam cerita terdapat pengajaran adat dan agama.
Mengaji adat istiadat. Didalam pelajaran ini anak didik mendapat pengetahuan yang berkaitan dengan Tambo Alam Minangkabau dan Tambo Adat.
Baraja tari sewa dan pancak silek (belajar tari sewa dan pencak silat). Untuk keterampilan dan ilmu beladiri maka anak didik berguru yang sudah kenamaan.
Mangaji halam jo haram (mengaji halal dengan haram). Pengetahuan ini berkaitan dengan pengajaran agama.
Mengaji nan kuriek kundi nan merah sago, nan baiek budi nan indah baso (mengaji yang kurik kundi nan merah sago, yang baik budi nan indah baso), pengajaran yang berkaitan dengan adat istiadat dan moral.
Setelah dewasa maka upacara selanjutnya adalah upacara perkawinan. Pada umumnya masyarakat Minangkabau beragama Islam, oleh karena itu dalam masalah nikah kawin sudah tentu dilakukan sepanjang Syarak. Dalam pelaksanaan nikah kawin dikatakan "nikah jo parampuan, kawin dengan kaluarga". Dengan pengertian ijab kabul dengan perantaraan walinya sepanjang Syarak, namun pada hakekatnya mempertemukan dua keluarga besar, dua kaum, malahan antara keluarga nagari. Pada masa dahulu perkawinan harus didukung oleh kedua keluarga dan tidak membiarkan atas kemauan muda-mudi saja. Dalam proses perkawinan acara yang dilakukan adalah sbb:
Pinang-maminang (pinang-meminang)
Mambuek janji (membuat janji)
Anta ameh (antar emas), timbang tando (timbang tando)
Nikah
Jampuik anta (jemput antar)
Manjalang, manjanguak kandang (mengunjungi, menjenguk kandang). Maksudnya keluarga laki-laki datang ke rumah calon istri anaknya
Baganyie (merajuk)
Bamadu (bermadu)
Dalam acara perkawinan setiap pertemuan antara keluarga perempuan dengan keluarga laki-laki tidak ketinggalan pidato pasambahan secara adat.
Akhir kehidupan di dunia adalah kematian. Pada upacara yang berkaitan dengan kematian tidak terlepas dari upacara yang berkaitan dengan adat dan yang bernafaskan keagamaan. Acara-acara yang diadakan sebelum dan sesudah kematian adalah sbb:
Sakik basilau, mati bajanguak (sakit dilihat, mati dijenguk)
Anta kapan dari bako (antar kafan dari bako)
Cabiek kapan, mandi maik (mencabik kafan dan memandikan mayat)
Kacang pali (mengantarkan jenazah kek kuburan)
Doa talakin panjang di kuburan
Mengaji tiga hari dan memperingati dengan acara hari ketiga, ketujuh hari, keempat puluh hari, seratus hari dan malahan yang keseribu hari. Pada masa dahulu acara-acara ini memerlukan biaya yang besar.
2. Upacara Yang Berkaitan dengan Perekonomian
Upacara yang berkaitan dengan perekonomian seperti turun kesawah, membuka perladangan baru yang dilakukan dengan upacara-upacara adat. Untuk turun kesawah secara serentak juga diatur oleh adat. Para pemangku adat mengadakan pertemuan terlebih dahulu, bila diadakan gotong royong memperbaiki tali bandar dan turun kesawah. Untuk menyatakan rasa syukur atas rahmat yang diperoleh dari hasil pertanian biasanya diadakan upacara-upacara yang bersifat keluarga maupun melibatkan masyarakat yang ada dalam kampung. Pada masa dahulu diadakan pula upacara maulu tahun (hulu tahun), maksudnya pemotongan padi yang pertama sebelum panen keseluruhan. Diadakan upacara selamatan dengan memakan beras hulu tahun ini. Upacara dihadiri oleh Ulama dan Ninik mamak serta sanak keluarga. Adapun acara yang berkaitan dengan turun kesawah ini adalah sbb:
Gotong royong membersihkan tali bandar
Turun baniah, maksudnya menyemaikan benih
Turun kasawah (turun ke sawah)
Batanam (bertanam)
Anta nasi (megantarkan nasi)
Basiang padi (membersihkan tanaman yang mengganggu padi)
Tolak bala (upacara untuk menolak segala malapetaka yang mungkin menggagalkan pertanian)
Manggaro buruang (mengusir burung)
Manuai (menuai), manyabik padi (potong padi)
Makan ulu tahun (makan hulu pertahunan)
Tungkuk bubuang (telungkup bubung)
Zakat.
3. Upacara Selamatan
Dalam kehidupan sehari-hari di tengah masyarakat banyak ditemui upacara selamatan. Bila diperhatikan ada yang sudah diwarisi sebelum Islam masuk ke Minangkabau. Doa selamat ini untuk menyatakan syukur atau doa selamat agar mendapat lindungan dari Tuhan Yang Maha Esa. Beberapa upacara yang termasuk doa selamatan ini seperti :
Upacara selamatan atas kelahiran, turun mandi, bacukua (bercukur), atau memotong rambut pertama kali.
Upacara selamatan dari suatu niat atau melepas nazar. Sebagai contoh setelah sekian lama sakit dan si sakit kemudian atau keluarganya berniat bila seandainya sembuh akan dipanggil orang siak dan sanak famili untuk menghadiri upacara selamatan.
Selamat pekerjaan selesai.
Selamat pulang pergi naik haji
Selamat lepas dari suatu bahaya
Selamat hari raya
Selamat kusuik salasai, karuah manjadi janiah (selamat kusut selesai, keruh menjadi jernih). Upacara selamat diadakan karena adanya penyelesaian mengenai suatu permasalahan baik yang menyangkut dengan masalah kekeluargaan maupun yang menyangkut dengan adat.
Maulud nabi.
dll
Dengan banyaknya upacara yang dilakukan dalam masyarakat Minangkabau secara tidak langsung juga sebagai sarana komunikasi dalam kehidupan bermasyarakat dan juga dalam alih generasi yang berkaitan dengan adat dan agama di Minangkabau.
Langganan:
Postingan (Atom)